REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Polda Metro Jaya menguji cepat (rapid test) Covid-19 terhadap ribuan pendemo yang diamankan terkait aksi penolakan Undang-Undang Cipta Kerja di Jakarta dan sekitarnya sejak Senin (5/10) hingga Jumat (9/10) dini hari. Hingga Sabtu (10/10), 3.862 orang yang terlibat aksi tolak UU Ciptaker di berbagai wilayah di Indonesia ditangkap.
Pusat Studi Hukum dan Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (PSHK FH UII) menilai rapid test yang dilakukan Kepolisian melahirkan persepsi yang kurang baik. Menurut PSHK FH UII dalam konteks demonstrasi ini, polisi fokus saja untuk menertibkan dan menjaga keamanan.
"Fokus pada bagaimana menegakkan ketertiban misalkan mencegah dan mengendalikan situasi anarkis. Kalau untuk urusan tes cepat itu bukan ranah dan kewenangannya karena sudah ada pihak yang bertugas melaksakan tes cepat. Sehingga kalau polisi malah mendesak tes cepat, akan melahirkan persepsi yang kurang baik, " kata Direktur PSHK FH UII Allan Fatchan Ghani kepada Republika, Jumat (9/10).
Allan mengatakan, persepsi yang kurang baik terhadap upaya mewujudkan kebebasan berekspresi dan menimbulkan prasangka kalau polisi menjadi alat pemerintah, dan bukan alat negara. Karena, demonstrasi dijamin konstitusi, setiap warga negara boleh menyatakan pendapat di muka umum.
Namun, lanjut Allan, lantaran kondisi kini di tengah pandemi tentu saja demonstran harus mematuhi protokol kesehatan. Begitupun polisi dalam penegakannya.