Jumat 09 Oct 2020 06:26 WIB

UU Cipta Kerja, Siapa Melempar Api di Kubangan Bensin?

Rakyat kecil sudah susah karena Covid-19, masih dihimpit dengan UU Ciptaker.

Sejumlah Mahasiswa terlibat bentrokan dengan pihak Kepolisian saat aksi demonstrasi di Kawasan Industri Jababeka, Cikarang, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, Rabu (7/10/2020). Aksi tersebut sebagai bentuk penolakan RUU Cipta Kerja yang telah disahkan oleh DPR RI.
Foto: Fakhri Hermansyah/ANTARA FOTO
Sejumlah Mahasiswa terlibat bentrokan dengan pihak Kepolisian saat aksi demonstrasi di Kawasan Industri Jababeka, Cikarang, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, Rabu (7/10/2020). Aksi tersebut sebagai bentuk penolakan RUU Cipta Kerja yang telah disahkan oleh DPR RI.

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Teguh Firmansyah*

Sabtu larut malam, saat orang-orang tengah bersantai dan beristirahat dengan keluarga, Badan Legislasi DPR bersama perwakilan pemerintah dan DPD menggelar rapat gabungan. Rapat membahas RUU Omnibus Law Cipta Kerja apakah akan dibawa ke Paripurna atau tidak.

Rapat resmi di akhir pekan apalagi sampai larut malam boleh dibilang jarang terjadi di dewan. Karena biasanya pertemuan dilakukan pada hari-hari kerja. Namun para pejabat merasa penting untuk membahas segera aturan ini.  

Rapat baru dimulai pukul 21.00. Dan seperti sudah diperkirakan sebelumnya, RUU tersebut disepakati untuk dibawa ke Paripurna DPR. Tujuh fraksi lewat pandangan mininya setuju pengesahan rancangan undang-undang tersebut. Hanya PKS dan Demokrat yang menolak beleid ini.

Tak butuh jeda lama, dua hari setelahnya atau pada Senin (5/10), aturan itu kembali dibahas di Paripurna. Tekanan para aktvisis, buruh dan ormas besar seperti Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah agar pembahasan aturan ditunda tidak digubris.

Politikus Senayan dan pemerintah seperti sudah kebelet untuk segera mengetok UU Cipta Kerja. Padahal belum ada jaminan jika UU itu diketok, investor langsung segera masuk. 

Tok! UU Cipta Kerja pun akhirnya disahkah.

Bak melempar api ke tong bensin, keputusan ini sontak memicu demonstrasi di berbagai daerah. Kerusuhan pecah di Bandung, Banten hingga di Lampung. Para demonstran bentrok dengan polisi dan Satpol PP.

Pengunjuk rasa melempar petugas dengan batu, dan dibalas dengan peluru karet serta meriam air. Sejumlah korban jatuh, dan terpaksa dilarikan ke rumah sakit.  Hingga tulisan ini dibuat, Senin (8/10), para demonstran terus bergerak menuju jantung pusat ibu kota, meski mendapat adangan dari kepolisian. Bentrokan masih terus terjadi.

Seperti de javu, demonstrasi ini mengingatkan saya ketika institusi negara mengesahkan revisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 2019. Para mahasiswa turun ke jalan memenuhi depan Gedung DPR/MPR. Waktunya persis sama pada bulan September.

Tagar anak STM pun sempat meramaikan jagat dunia maya, ketika para pelajar ikut bentrok dengan aparat keamanan. Korban pun akhirnya berjatuhan. Di Kendari, dua mahasiswa Randi dan Yusuf tewas terkena peluru tajam yang diduga dari aparat, pun di Jakarta.  Namun pengorbanan para demonstran itu tak membuat pemerintah membatalkan revisi aturan tersebut. UU KPK hasil revisi tetap berjalan.

Tergesa-gesa

Sebetulnya bukan kali ini saja, para aktivis, buruh maupun ormas menyuarakan penolakan pengesahan UU Cipta Kerja. Ada beberapa alasan mengapa aturan ini dipersoalkan.   Pertama, aturan ini dikhawatirkan akan membuat posisi buruh lebih lemah dibandingkan pengusaha. Belum lagi persoalan pegawai kontrak yang menjadi momok buat para buruh. 

Kedua, pemerintah maupun DPR terlalu terburu-buru dalam membahas aturan ini. Belum ada sosialisasi yang masif ke kalangan buruh maupun aktivis tentang isi dari UU Cipta Kerja ini. Apakah UU akan membuat 'Cilaka' atau menambah kesejahteraan.

Alih-alih melakukan sosialisasi, dan berdiskusi untuk mematangkan isi beleid, pemerintah dan DPR tetap memaksakan agar aturan ini segera disahkan. Para pejabat seperti tak peduli dampak yang ditimbulkan dari pengesahan aturan yang dilakukan secara terburu-buru.

Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Muti dalam satu pernyataan ke jurnalis mengatakan, pembahasan aturan ini cenderung tergesa-gesa dan diam. Muhammadiyah sejak awal menyarankan agar aturan ini ditunda dulu sambil terus menunggu masukan dari masyarakat.

Ketiga, pembahasan aturan Omnibus Law Cipta Kerja dilakukan di tengah pandemi Covid-19 dinilai kurang pantas. Pemerintah sejatinya tetap fokus untuk menyelesaikan badai Covid-19 terlebih dahulu daripada menyegerakan aturan ini.

Di berbagai negara di seluruh dunia, semua juga tengah memikirkan bagaimana mengendalikan Covid-19. Di sisi lain, perusahaan juga belum berani melakukan ekspansi besar-besaran sambil menunggu Covid mereda. Hal itu terlihat dari penyaluran kredit perbankan kuartal kedua 2020 yang minus 33,9 persen.

Namun yang patut diprihatinkan adalah jika institusi negara justru memanfaatkan Covid-19 untuk mengesahkan UU kontroversial ini. Mengapa demikian? Karena di masa Covid, masyarakat fokus ke isu Corona. Di satu sisi, aparat juga punya alasan untuk mengadang demonstran dengan alasan penyebaran Covid.

Bila demikian yang benar-benar terjadi, maka meminjam kata populer bang Haji Rhoma Irama, 'sungguh terlalu'. Lantas siapa yang akan bertanggung jawab jika demonstrasi-demonstrasi ini malah mambuat klaster-klaster baru penyebaran Covid? Apakah salah pengunjuk rasa? Atau salah negara yang menyalakan bensin di atas api?

*) Penulis adalah jurnalis republika.co.id

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement