REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Fathimah Fildzah Izzati mengatakan Pasal 66 Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja akan melanggengkan sistem kerja alih daya.
Fildzah mengatakan penerapan sistem kerja alih daya (outsourcing) sebelumnya dibatasi dengan Pasal 66 ayat (1) UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Pasal itu mengatur bahwa outsourcing hanya boleh dilakukan untuk kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi.
"Tapi di RUU Cipta Kerja tidak ada lagi pengaturan (batas) seperti itu. Jadi artinya di UU 13/2003 saja yang ada peraturan tidak boleh di inti kegiatan (core) produksi masih banyak dilanggar, sistem kerja outsourcing ini diterapkan di semua lini, apalagi kalau di UU Cipta Kerja ini, outsourcing atau alih daya itu tidak ditetapkan atau boleh di mana saja, begitu. Jadi benar-benar dilanggengkan," kata Fildzah, Rabu (7/10).
Ia mengatakan adanya konsekuensi tersebut berdasarkan draf terakhir RUU Cipta Kerja yang diterimanya pada 5 Oktober 2020. Kendati demikian, menurut Fildzah, konsekuensi demikian menjadi logis, mengingat RUU Cipta Kerja memiliki ruh untuk menciptakan iklim investasi yang ramah investor agar terciptanya lapangan kerja.
"Logika UU itu memang adalah untuk menciptakan iklim yang ramah investasi. Nah, konsekuensi logis dari penciptaan iklim yang ramah investasi itu kan ada beberapa hal. Pertama, mempermudah izin investasi, misalnya mempermudah prosedur-prosedur seperti analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal), dan lain-lain. Kedua, mengurangi biaya tenaga kerja tadi," kata Fildzah.