REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Indonesia menempati urutan ketiga dunia setelah Cina dan India sebagai negara dengan angka prevalensi perokok anak usia 10 tahun ke atas tertinggi. Kondisi itu didasarkan pada data Global Youth Tobacco Survey.
"Selain itu, pada 2014 hingga 2016 konsumsi tembakau remaja juga masih kategori yang tertinggi di ASEAN," kata Kasubdit Advokasi dan Kemitraan Direktorat Promosi Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat Kementerian Kesehatan, Sakri Sabatmaja saat diskusi daring yang di pantau di Jakarta, Rabu (7/10).
Walaupun secara umum prevalensi merokok usia di atas 15 tahun terdapat penurunan dari 36,3 persen pada 2013 menjadi 33,8 persen, hal itu tidak memiliki arti besar.
Sebab, ujar dia, walaupun prevalensi perokok menurun dari 2013 hingga 2018, jumlah absolutnya meningkat dari 64,9 juta menjadi 65,7 juta. Oleh karena itu, merujuk pada data prevalensi perokok tersebut, pemerintah terus berupaya melakukan percepatan penanganan dan pengendalian rokok.
"Ini memprihatinkan, karena usia 15 tahun justru menjadi populasi yang paling banyak merokok," kata Sakri.
Tingginya angka prevalensi perokok di Tanah Air terutama golongan anak-anak tidak terlepas dari pengaruh iklan rokok, baik melalui televisi, papan reklame maupun internet.
Berdasarkan survei riset kesehatan dasar pada 2007 hingga 2018 menemukan prevalensi perokok elektronik penduduk usia 10-18 tahun mengalami peningkatan signifikan. Pada 2016 tercatat 1,2 persen dan naik tajam menjadi 10,9 persen pada 2018.
Ia menambahkan apabila pemerintah berupaya menyaingi industri rokok dengan memberikan edukasi terkait bahaya rokok melalui media televisi dan lain sebagainya, tidak akan sanggup dari segi materi. "Mereka memiliki anggaran yang luar biasa untuk menguasai televisi, radio dan sebagainya," katanya.
Berdasarkan RPJMN 2020-2024, salah satu poinnya adalah mendorong pembangunan sumber daya manusia, dimana dalam RPJMN tersebut terdapat pelarangan iklan rokok secara total.