REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Mantan Wakil Ketua DPR RI Fadli Zon mengatakan, RUU Cipta Kerja seakan membuat DPR tak berdaya. Hingga akhirnya, selama pembahasan para anggota panitia kerja (Panja) di Badan Legislasi (Baleg) DPR menyesuaikan dengan keinginan pemerintah.
"Mungkin dalam beberapa isu parlemen bisa memasukkan sejumlah kepentingan masyarakat. Tapi kepentingan pemerintah jauh lebih dominan, ini tentunya bukan praktik demokrasi yang kita kehendaki," ujar Fadli lewat keterangan tertulisnya, Rabu (7/10).
Pembahasan RUU Cipta Kerja juga telah mengabaikan partisipasi masyarakat, terbukti dari dikebutnya pengesahan regulasi tersebut. Padahal, undang-undang ini mengubah 1.203 pasal dari 79 undang-undang yang berbeda-beda.
Sehingga, pembahasannya seharusnya dilakukan lebih lama agar lebih cermat dan komprehensif. Bukan hanya dengan 64 kali rapat, yang diselesaikan dalam waktu kurang lebih satu tahun.
Fadli juga menilai, UU Cipta Kerja ini dapat memancing instabilitas di kemudian hari. Masifnya penolakan di berbagai daerah, termasuk gerakan mogok nasional, menunjukkan regulasi ini hanya akan melahirkan kegaduhan saja.
"Kalau terus dipaksa untuk diterapkan, ujungnya sudah pasti hanya akan merusak hubungan industrial. Artinya, baik buruh maupun pengusaha pada akhirnya bisa sama-sama dirugikan, ini soal waktu saja," katanya.
Di samping itu, undang-undang ini justru dinilai sulit untuk menghadirkan investasi di Indonesia. Sebab investor memerlukan kepastian hukum, bukan kegaduhan yang disebabkan oleh UU Cipta Kerja ini.
"Lagi pula, sudah bukan zamannya lagi menekan atau memangkas hak-hak buruh untuk menggaet investasi. Sebab, investor yang baik, selain isu lingkungan, biasanya juga sangat memperhatikan isu perburuhan," ujarnya lagi.
UU Cipta Kerja juga memundurkan komitmen pemerintah terhadap isu lingkungan. Sehingga wajar jika sebagian masyarakat kecewa akibat pengesahan RUU ini.
Sebagai anggota DPR, Fadli mengaku tak dapat mencegah disahkannya RUU Cipta Kerja. Selain bukan anggota Baleg, ia juga termasuk yang terkejut adanya pemajuan jadwal Sidang Paripurna kemarin.
"Sekaligus mempercepat masa reses. Ini bukan apologi, tapi realitas dari konfigurasi politik yang ada, saya mohon maaf," ucap politikus Gerindra itu.