REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja akan segera disetujui menjadi Undang-Undang (UU) dalam Rapat Paripurna DPR RI. UU ini disebut-sebut pemerintah akan mendongkrak investasi dan mendorong perekonomian.
Namun, hal ini ditentang oleh banyak pihak, tidak hanya buruh, ekonom hingga beberapa partai politik. Menurut Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudistira, UU ini sama sekali tidak membantu dalam pemulihan ekonomi di masa resesi. Apalagi ditambah dengan banyaknya gelombang penolakan terhadap RUU ini.
"Gelombang penolakan pasti terjadi dan bukan hanya buruh tapi juga elemen lain yang merasa dirugikan haknya, mulai dari petani karena ada klausul impor pangan disamakan dengan produksi pangan dan cadangan nasional, sampai masyarakat adat yang merasa dirugikan dalam persoalan izin lahan," ujar Bhima kepada Republika.co.id, Ahad (4/10).
Di klaster ketenagakerjaan sendiri pengurangan hak pesangon akan menurunkan daya beli buruh. Hal ini tidak bisa diterima oleh pekerja yang saat ini rentan terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).
Menurut Bhima, dampak dari omnibus law diperkirakan tidak akan signifikan dalam meningkatkan daya saing dan investasi. Ia memaparkan, ada tiga masalah terkait hal ini. Pertama, Omnibus law merubah ratusan pasal sehingga butuh ribuan aturan teknis baik level PP sampai peraturan menteri dan perda yang berubah.
"Ini justru memberi ketidakpastian karena banyaknya aturan yang berubah ditengah situasi resesi ekonomi. Padahal investor butuh kepastian," kata Bhima.
Kedua, aksi penolakan omnibus law bisa merusak hubungan industrial di level paling mikro atau di tingkat perundingan perusahaan (bipartit). Hal ini karena ancaman mogok kerja bisa menurunkan produktivitas, dan yang rugi adalah pengusaha juga.
Selain itu, investasi juga tidak akan langsung masuk ke indonesia karena banyak variabel lain yang jadi pertimbangan seperti keseriusan pemerintah dalam pemberantasan korupsi, efektivitas insentif fiskal dan non fiskal, ketersediaan bahan baku dan biaya logistik.
Bahkan dengan dicabutnya hak-hak pekerja dalam omnibus law, kata Bhima, tidak menutup kemungkinan persepsi investor khususnya negara maju jadi negatif terhadap indonesia.
"Investor di negara maju sangat menjunjung fair labour practice dan decent work dimana hak-hak buruh sangat dihargai, bukan sebaliknya. Menurunkan hak buruh berarti bertentangan dengan prinsip negara maju," ujarnya.