Ahad 04 Oct 2020 13:39 WIB

Mas Narjo, Dokter Djajus, H Asmuni: Kepahitan Pasca G30S/PKI

Kenangan mereka yang menjadi pendukung komunus pasca peristwa G30/SPKI

Massa berunjuk rasa di kantor CC PKI yang terletak di Jl Kramat Raya Jakarta atau persis berada di sebarang kantor PBNU, pasca meletusnya peristwa G30S/PKI..
Foto:

Ketika terjadi pembersihan para pendukung PKI pasca-Gestapu, Mas Narjo ikut ditangkap dan dijebloskan ke penjara. Awalnya ia adalah tahanan kategori Kelas C, tapi entah bagaimana, statusnya kemudian naik menjadi tahanan Kelas B. Bahkan naik lagi menjadi tahanan Kelas A. Konsekuensinya, dia ditahan dan diasingkan ke Pulau Buru.

Mas Narjo baru menghirup udara bebas 17 tahun kemudian. Saya mendengar dia bisa survive di Buru karena keahlian dan keterampilan yang dimilikinya. Di Pulau Buru dia menanam pohon kayu putih dan menyulingnya menjadi minyak. Dia juga melakukan berbagai aktivitas produktif lainnya.

Sesudah bebas dan pulang ke Kalibata, Jakarta, dia mendapati istrinya sudah menikah lagi dan punya anak. Menariknya, sang istri mau kembali ke pangkuannya. Mereka menikah kembali. Sayang, saya tak pernah berjumpa kembali dengan Mas Narjo sesudah ia bebas. Mas Narjo meninggal ketika saya sedang belajar di Amerika Serikat. 

Selain Mas Narjo, saya juga punya kenangan mirip pada Dokter Djajus. Saat kecil, saya punya penyakit asma akut. Kalau sedang kambuh, rasanya menderita sekali. Ibu sebenarnya sudah berusaha menyembuhkan penyakit itu dengan berbagai cara, baik cara modern, maupun tradisional. Berbagai dokter sudah dikunjungi untuk menyembuhkan penyakit saya. Hasilnya, nihil.

Sampai kemudian saya dibawa ke Dokter Djajus. Dia adalah Kepala Rumah Sakit di Ambarawa, Jawa Tengah. Dokter Djajus hidup sederhana bersama isteri dan 17 anaknya. Sikapnya sangat bersahaja dan merakyat. Di Ambarawa, pasiennya sangat banyak, yang menunjukkan kalau ia memang dokter yang istimewa. 

Ketika dibawa berobat ke sana, untuk menyembuhkan asma, Dokter Djajus ternyata mengembangkan pengobatan tradisional Jawa kuno, yaitu mencampur darah haid ibu dengan air kelapa dan diminumkan kepada anak yang menderita asma. Namun, dengan pengetahuan modernnya sebagai dokter, ia melakukan modifikasi atas metode tradisional tersebut. Dia menyebut nama pengobatannya sebagai metode Materi Amia, atau darah ibu. 

Dalam metode barunya itu, pengobatan asma tidak perlu lagi berasal dari darah haid. Darah cukup diambil dari ibu yang masih produktif, alias masih bisa memiliki anak dan belum menopause. Jika ibu sudah tidak ada, maka darah bisa diambilkan dari tante (adik atau kakak dari ibu). Jika tidak ada dari pihak ibu, maka bisa dari darah kakak atau adik perempuan. Syaratnya, mereka sudah menstruasi dan belum menopause. 

Untuk kasus saya, ternyata saya dan ibu memiliki golongan darah yang berbeda. Golongan darah ibu AB, sedangkan saya O. Dalam kasus seperti itu, Dokter Djajus akan mengambil darah dalam ukuran beberapa sentimeter kubik (cc) dari ibu sebelum masa menstruasinya. Darah itu kemudian diinjeksi ke pinggul saya di bawah jaringan kulit. Jadi tidak masuk ke nadi pembuluh darah atau saluran darah, sehingga tidak terjadi penggumpalan darah karena reaksi terhadap golongan darah yang berbeda.

Sebelum berobat ke Dokter Djajus, ibu membawa saya ke Dokter A.A. Nur di Jalan Raden Saleh, Jakarta Pusat. Di sana saya hanya diberi suntikan cairan epinephrine/adrenalin. Tujuannya adalah agar bronchial bisa membesar bila terjadi serangan asma. Metode injeksi adrenalin ini alih-alih menyembuhkan, malah meningkatkan intensitas serangan asma saya. Semula asma saya hanya kumat sebulan sekali. Tetapi setelah disuntik adrenalin secara berkala, asma saya malah kambuh dua minggu sekali, dan bahkan kemudian jadi seminggu sekali. 

Di tangan Dokter Djajus, pengobatan transfer darah ibu ini hanya dilakukan sebulan sekali. Setelah injeksi Materi Amia, dia memberi obat untuk diminum berupa obat batuk hitam biasa. “Saya hanya kasih kamu obat batuk biasa, selebihnya kamu akan disembuhkan oleh darah ibumu,” ujarnya. Selama rangkaian berobat ke Dokter Djajus itu, tiap bulan ibu harus menyewa mobil jenis microbus untuk membawa saya dari Jakarta ke Ambarawa, pulang dan pergi. 

Selain menjadi dokter dan kepala rumah sakit di Ambarawa, belakangan saya baru mengetahui kalau Dokter Djajus ternyata aktif sebagai Ketua Himpunan Sarjana Indonesia (HSI) di Jawa Tengah. HSI adalah organisasi onderbouw PKI dalam bidang intelektual kesarjanaan.

Saat terjadi aksi pembasmian PKI di Jawa Tengah dan Jawa Timur, Dokter Djajus ikut jadi sasaran. Dia dituduh melakukan penimbunan senjata dan obat-obatan. Akibatnya dia ditahan dan kemudian diasingkan ke Pulau Buru selama 17 tahun. Seperti Mas Narjo, Dokter Djajus termasuk golongan tahanan Kelas A.

Ada hal yang membuat saya sedih dengan nasib Dokter Djajus. Sebelum 1 Oktober 1965, dalam kunjungan pengobatan bulanan ke Ambarawa, Dokter Djajus mengatakan kepada saya, “Kamu sekarang sudah mendapat suntikan ke sebelas. Kalau kamu datang lagi bulan depan untuk suntikan kedua belas, maka kamu akan sembuh seumur hidup. Tidak akan mendapat serangan asma yang parah lagi.” Begitu janjinya. 

Sayangnya, ketika kami akan ke Ambarawa untuk pengobatan terakhir, Gestapu pecah. Dokter Djajus sudah keburu ditahan karena dituduh terlibat G-30-S/PKI. Suntikan materi amia yang terakhir itupun akhirnya tak pernah saya dapatkan.

Saya tidak tahu persis bagaimana keterlibatan Dokter Djajus dengan PKI. Apalagi terkait tuduhan mengenai penimbunan senjata dan obat-obatan untuk ”revolusi rakyat”. Saya hanya merasa memiliki utang budi yang sangat besar kepadanya. Sebagai dokter, ia telah membantu menyembuhkan penyakit asma yang sebelumnya saya derita. 

Tanpa pertolongannya, entah bagaimana nasib saya. Dengan penyakit asma yang parah, saya mungkin tak akan bisa menjadi seperti sekarang, bisa sekolah tinggi, studi ke luar negeri, berkeliling dunia, berkenalan dan bekerja dengan sejumlah tokoh besar dunia, serta memiliki karir dan bintang jasa yang bolehlah untuk dibanggakan kepada anak cucu.

Itu sebabnya, hingga kini saya masih menyimpan keinginan suatu ketika bisa diberi kesempatan untuk bertemu dengan keluarga atau keturunannya, untuk mengucapkan rasa terima kasih yang belum sempat saya sampaikan kepada Dokter Djajus. Saya berharap, tulisan ini ikut dibaca oleh keluarga Dokter Djajus, dan mereka bersedia untuk berjumpa dan berkenalan dengan saya. 

Terobosan metode pengobatan materi amia ala Dokter Djajus membuat saya tidak pernah lagi terkena serangan asma parah seperti yang sebelumnya dialami ketika masih SD dan SMP. Saya bisa melalui Masa Prabakti Mahasiswa (Mapram), alias perploncoan, ketika masuk UI pada 1968 dengan mulus. Padahal, perpeloncoan masa itu terkenal keras dan ekstrem.

Bayangkan, mahasiswa baru, misalnya, baru bisa pulang ke rumah rata-rata jam dua dini hari, di mana jam setengah lima pagi, mereka sudah harus kembali lagi ke kampus untuk ikut apel! Meskipun demikian, asma saya tidak kambuh. Kendati pernah dicemplungkan ke kolam, saya juga tidak anfaal sedikitpun. Asma akut itu benar-benar tidak kembali.

Ketika saya ditahan selama beberapa bulan di “Kampus Kuning” Bekasi saat mahasiswa, asma berat saya juga tidak kambuh. Kampus Kuning adalah sebutan bagi barak militer Batalyon Infanteri Taji Malela yang dicat kuning. Padahal, ketika itu saya harus tidur di atas velbed selama berbulan-bulan, yang membuat badan saya jadi terasa bongkok. Sirkulasi udara juga tak mengalir dengan baik ke kamar, karena seluruh jendela sengaja ditutup dan dipaku dari luar.

Ketika saya melanjutkan kuliah ke Amerika, mengerjakan disertasi, dan menghadiri berbagai konferensi hingga Quebec, Kanada, asma itu juga tak pernah muncul. Padahal, suhu musim dingin kadang ekstrem, bisa minus 20 hingga minus 40 derajat celsius.

Saya berharap metode pengobatan materi amia yang dikembangkan oleh Dokter Djajus bisa dipelajari kembali secara ilmiah oleh fakultas kedokteran. Sempat tersiar kabar bahwa fakultas kedokteran salah satu universitas negeri di Jawa Timur pernah berupaya mengembangkan metode tersebut. Tapi kemudian tidak terdengar lagi kelanjutannya.

Ada kabar juga bahwa Cina mencoba mengembangkan terobosan pengobatan materi amia yang digagas Dokter Djajus ini. Sebelum peristiwa Gestapu, Dokter Djajus memang pernah memaparkan metode ini di salah satu simposium kesehatan di Cina. 

Begitulah dua fragmen peristiwa tahun 1965 yang masih saya ingat. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement