REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Selamat Ginting/Wartawan Senior Republika
Jakarta, Jumat Subuh, 1 Oktober 1965. Sekitar pukul 04.00 WIB. “Gan... Juragan... Ada telepon,” kata Bi Erum, seorang pembantu rumah tangga. Ia berbicara sambil mengetuk pelan, kamar tidur tuannya. Rumah dinas Panglima Kodam (Pangdam) V Jaya, Brigadir Jenderal (Brigjen) TNI Umar Wirahadikusumah. Tepatnya di Jalan Ki Mangunsarkoro Nomor 36 Menteng, Jakarta Pusat.
Sekejap, sang jenderal membuka pintu kamar tidurnya. Bersama istrinya, Nyonya Karlinah Djajaatmadja, segera keluar kamar. Umar bergegas menyambar telepon yang berada di atas bufet. Lawan bicaranya Subuh itu adalah Komisaris (Polisi) Hamdan, salah seorang ajudan Jenderal TNI Abdul Haris (AH) Nasution.
Melalui telepon, Hamdan melaporkan telah terjadi penembakan dan perlucutan senjata petugas oleh pasukan tak dikenal di kediaman Menteri Koordinator (Menko)/Kepala Staf Angkatan Bersenjata (KSAB), Jenderal TNI AH Nasution. Ajudan lainnya, Letnan Satu (Zeni) Pierre Tendean juga hilang dari kediaman KSAB.
Umar terkejut. Pikirannya melambung ketika berpangkat Kapten. Umar juga pernah menjadi ajudan Kolonel AH Nasution, Panglima Divisi III Siliwangi, pada Januari hingga Juni 1947. Umar mengawali karier militernya pada September 1945 sebagai Letnan Dua. Usai lulus pendidikan militer Seinan Doyo di Tangerang. Serta pendidikan perwira (shodanco) Rensetai PETA (Pembela Tanah Air) di Bogor. Dimulai sebagai Komandan Peleton TKR (Tentara Keamanan Rakyat) di Cicalengka, Jawa Barat.
Ajudan Nasution
“Schat, saya harus pergi ke (rumah) Pak Nas (Jenderal AH Nasution),” kata Umar kepada istrinya. Schat merupakan pangilan bermakna sayang dalam bahasa Belanda.
“Ke Pak Nas?” jawab Karlinah dengan penuh tanya.
“Ya, ada sejumlah pasukan tidak dikenal melucuti pasukan jaga dan masuk ke rumah mencari Pak Nas,” ujar Umar menjelaskan.
Dalam kondisi seperti itu, sebagai Pangdam di wilayah Ibu Kota Negara, Umar dalam situasi siaga satu. Dia membuka lemari pakaian dan mengambil pakaian dinas lapangan. Ia mencoba mengangkat telepon untuk menghubungi sejumlah orang. Tak dinyana, ternyata hubungan telepon sudah terputus.
Sebagai Panglima, ia tidak bisa menghubungi siapa pun. Padahal dalam situasi genting, ia membutuhkan informasi dari sejumlah pihak. Umar berpikir ada situasi yang sangat tidak biasa di wilayah tanggung jawabnya. Ia bergegas mengambil wudhu untuk menunaikan sholat Subuh. Sekaligus memohon perlindungan kepada Allah, Sang Pencipta.
Usai sholat Subuh dan sarapan secukupnya, Dang Umar segera menyambar tongkat komando dan pistolnya. Dang Umar merupakan panggilan kecil sang jenderal. Dang menunjukkan anak seorang wedana. Ayahnya Wedana Cibatu, Kabupaten Garut, Jawa Barat.
Sang ayah, Raden Rangga Marjunani Wirahadikusumah. Sang ibu, Nyi Raden Lesmana Ratnaningrum. Nama Umar diambil dari salah seorang sahabat Nabi Muhammad SAW, Umar bin Khattab, seorang panglima perang yang gagah berani.
Tak lama datang Kapten Sulasdi, perwira piket Garnizun Ibu Kota dengan kendaraan jip. Sang kapten membawa serta Panser Farret. Ia melaporkan situasi di kediaman KSAB. Panser digunakan untuk mengawal Pangdam Jaya menuju kediaman Jenderal AH Nasution di Jalan Teuku Umar Nomor 40. Termasuk beberapa mobil pengawal lengkap dengan pasukan bersenjata.
Di Bundaran Jalan Teuku Umar, rombongan Umar melihat segerombolan pemuda bersenjata Sten Gun. Mereka mengawasi kediaman Jenderal AH Nasution dari kejauhan. Siapa sekelompok tentara menggunakan Sten Gun tersebut? Umar belum mendapatkan jawaban. Situasi mencekam. Pengawalnya siap tempur menghadapi segala kemungkinan terburuk.
Begitu Umar tiba di kediaman Jenderal AH Nasution, pada saat bersamaan, datang pula panser dari Markas KKO (Korps Komando) TNI Angkatan Laut (kini disebut Korps Marinir) dari Jalan Kwitang, Jakarta Pusat. Rombongan dari KKO AL melapor kepada Pangdam Jaya bahwa mereka dihubungi Nyonya Johanna, istri Jenderal AH Nasution untuk mengamankan kediaman KSAB.
Umar kemudian mendapatkan laporan lengkap dari Komisaris (Polisi) Hamdan tentang penculikan terhadap Letnan Satu (Zeni) Pierre Tendean, alumni Akademi Militer (Akmil) Jurusan Teknik di Bandung, tahun 1961. Serta penembakan terhadap Ade Irma Suryani Nasution (lima tahun), anak Jenderal AH Nasution.
Termasuk upaya pembunuhan terhadap KSAB. Sang Jenderal bintang empat, lulusan Akmil Belanda di Bandung tahun 1942 itu berhasil meloloskan diri dari sergapan pasukan tidak dikenal. Melompati pagar belakang rumah.
Pagi itu juga Ade Irma Suryani Nasution langsung dibawa ke Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) dengan pengawalan khusus. Brigjen Umar memantau situasi di kediaman Jenderal Nasution. ”Pak Nasution... ini saya, Brigjen Umar Wirahadikusumah, Pangdam Jaya. Mohon bapak keluar. Saya Brigjen Umar Wirahadikusumah ....”
Dari balik tembok, Jenderal Nasution tidak menjawab. Ia masih khawatir dengan situasi yang tidak menentu. Ia tetap bersembunyi di halaman rumah Duta Besar Irak. Umar pun mendapatkan laporan tambahan di rumah Wakil Perdana Menteri (Waperdam) J Leimena, tepat di sebelah rumah Jenderal Nasution, salah seorang pasukan pengawal juga gugur, yakni Brigadir (Polisi) Karel Satsuin Tubun.
Konsolidasi pasukan
Saat itu juga Umar minta dihubungkan dengan Markas Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) di Cijantung. Sebagai Komandan Garnizun Ibu Kota Negara, Umar memerintahkan Komandan RPKAD memblokir jalan-jalan keluar dan masuk Jakarta guna mencegat dan menangkap para pelaku penculikan dan pembunuhan.
Beberapa lama kemudian, muncul pula Kolonel (Infanteri) GH Mantik, Kepala Staf Garnizun Ibu Kota. Kolonel GH Mantik melaporkan ada situasi yang sama di kediaman sejumlah jenderal, pimpinan Markas Besar Angkatan Darat (Mabesad).
Umar bergegas menuju ke kediaman Panglima AD (Pangad) Letnan Jenderal (Letjen) TNI Achmad Yani di Jalan Lembang Nomor 51, kediaman Deputi II Pangad Mayjen TNI R Soeprapto di Jalan Besuki Nomor 19, dan kediaman Deputi III Pangad Mayjen TNI MT Haryono di Jalan Prambanan Nomor 8. Semuanya di kawasan Menteng, Jakarta Pusat.
Dari para ajudan, dikemukakan pasukan tersebut ditengarai dari Resimen Tjakrabirawa, pasukan pengawal Presiden Sukarno. Umar segera menuju Markas Garnizun. Di kawasan Monas, ia melihat banyak tentara berseragam loreng. Ia memimpin rapat. “Kolonel Mantik tetap di Markas Garnizun untuk menerima laporan.”
“Letkol Djiman (Komandan Kodim Jakarta Pusat) segera melaporkan perkembangan kepada Panglima Kostrad.” Sedangkan Umar bergegas menuju ke Istana Merdeka melalui Istana Negara. Ia ditemui Kapten Sudibyo, petugas piket Istana dari Resimen Tjakrabirawa. “Apakah Bapak Presiden berada di Istana?”
“Bapak Presiden belum tiba di Istana.”
Kemudian Pangdam Jaya diantar menggunakan jip menuju Istana Merdeka untuk membuktikan Presiden Sukarno memang belum ada di Istana Merdeka. Kapten Sudibyo juga melaporkan Panglima Operasi Kalimantan Barat, Brigadir Jenderal TNI Soepardjo telah berada di Istana Merdeka.
“Apakah Panglima akan menemui Brigjen Soeparjo?” tanya Kapten Sudibyo.
“Tidak perlu,” jawab Umar, tegas.
Ia pun kembali ke Markas Garnizun. Di kantor Umar terkejut ketika mengetahui studio Radio Republik Indonesia (RRI) telah diduduki pasukan tidak dikenal.
“Pada hari ini, Kamis tanggal 30 September 1965 di Ibu Kota Republik Indonesia, Jakarta. Telah terjadi gerakan militer dalam Angkatan Darat dengan dibantu oleh pasukan-pasukan dari angkatan bersenjata lainnya. Gerakan 30 September yang dikepalai Letnan Kolonel (Letkol) Untung, Komandan Batalyon Tjakrabirawa, pasukan pengawal pribadi Presiden Sukarno ini, ditujukan kepada jenderal-jenderal apa yang menamakan dirinya Dewan Jenderal.”
“Sejumlah jenderal telah ditangkap dan alat komunikasi serta objek-objek vital lainnya sudah berada alam kekuatan Gerakan 30 September. Sedangkan Presiden Sukarno selamat dalam lingkungan Gerakan 30 September...”
Tolak panggilan Sukarno
Setelah mendengarkan siaran RRI, Umar langsung menuju Markas Kostrad menemui seniornya, Mayor Jenderal Soeharto. Soeharto memanggil Umar dengan sebutan: dik (adik) Umar. Umar kelahiran 10 Oktober 1924. Sedangkan Soeharto kelahiran 8 Juni 1921. Keduanya berbagi tugas sekaligus melakukan konsolidasi secapatnya untuk melumpuhkan pasukan penculik dan pembunuh para perwira tinggi AD.
Sebagai Komandan Garnizun, hanya dia yang memiliki otoritas mengumpulkan semua komandan batalyon di Jakarta. Tak lama kemudian datang dua ajudan Presiden Sukarno, yakni Kolonel (KKO) Bambang Widjanarko dan Komisaris Besar (Polisi) Sumirat. Mereka melaporkan kepada Panglima Kostrad Mayjen TNI Soeharto.
Memberitahukan pesan agar Pangdam Jaya Brigjen Umar Wirahadikusuma dan para panglima angkatan menghadap Presiden Sukarno di Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma. Kecuali Pangad Letjen Achmad Yani yang tidak diketahui keberadaannya. Umar minta pendapat Soeharto tentang perintah tersebut. Soeharto meminta agar Umar fokus untuk melumpuhkan pasukan penculik dan pembunuh para jenderal.
Soeharto pun menjawab kepada dua utusan Presiden Sukarno, ”Sampaikan pada Bapak Presiden, mohon maaf, Pangdam V Jaya tidak dapat menghadap. Dan karena saat ini Panglima AD tidak ada di tempat, harap semua instruksi untuk AD disampaikan melalui saya, Panglima Kostrad,” jawab Soeharto.
Sekitar tujuh jam kemudian, komando Gerakan 30 September muncul lagi pukul 14.00 WIB. Menyiarkan dua keputusan. Pertama tentang susunan Dewan Revolusi Indonesia. Kedua, tentang penurunan dan kenaikan pangkat. Dalam daftar Dewan Revolusi mencatut nama sejumlah tokoh dan jenderal, namun tidak menghubungi orang yang bersangkutan.
Antara lain, ada nama Mayjen Basuki Rachmat, Brigjen Amir Mahmud, dan Brigjen Umar Wirahadikusumah. “Saya difitnah mendukung Dewan Revolusi Gerakan 30 September,” kata Umar. Pernyataan politik Gerakan 30 September itu justru memicu perlawanan untuk menumpasnya.
Dalam konsolidasi, pasukan RPKAD diperintahkan mengambilalih studio RRI dan Gedung Telkom Pusat. Mereka berhasil mengambilalih tanpa perlawanan berarti. Pukul 19.00 WIB, RRI mengudarakan rekaman lengkap pidato Panglima Kostrad.
“... Sebagaimana diumumkan, maka pada tanggal 1 Oktober yang baru lalu telah terjadi di Jakarta, suatu peristiwa yang dilakukan oleh suatu gerakan kontrarevolusioner yag menamakan dirinya Gerakan 30 September. Mereka telah menculik beberapa perwira tinggi Angkatan Darat, ialah Letjen A Yani, Mayjen Soeprapto, Mayjen S Parman, Mayjen Haryono MT, Brigjen DI Panjaitan, dan Brigjen Soetojo Siswomihardjo.
Hari itu juga Pangdam Jaya melarang semua surat kabar terbit sejak 2 Oktober hingga 5 Oktober 1965, kecuali koran Angkatan Bersenjata, Berita Yudha, dan Pemberitaan Angkatan Bersenjata (PAB). Sebagai penguasa perang daerah, ia menyatakan Jakarta dalam keadaan perang dan memberlakukan jam malam.
Pertengahan Oktober 1965, Umar membekukan semua ormas yang terdidikasi dengan Gerakan 30 September/Partai Komunis Indonesia (G30/PKI). Umar dianggap sukses dan cepat melakukan konsolidasi di Jakarta. Pada awal Desember 1965, Mayjen Umar Wirahadikusumah dipromosikan menjadi Panglima Kostrad menggantikan Letjen Soeharto yang menjadi Menteri Pangad.
Peristiwa-peristiwa itu terangkum dalam beberapa buku, antara lain Umar Wirahadikusumah, Menegakkan Kebenaran dalam Diam ditulis Herry Gendut Jananto, Penerbit Pustaka Kayutangan, Malang pada 2006. Begitu juga dalam buku Karlinah Umar Wirahadikusumah, Bukan Sekadar Istri Prajurit karya Herry Gendut Jananto, Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama tahun 2000.
Kemudian buku Umar Wirahadikusumah Anak Desa Sutaraja ditulis oleh Adang S, penerbit PT Rosda Jayaputra tahun 1984. Serta buku Mengenang Dang Umar tidak diketahui penulis serta penerbit, dan tahunnya.