REPUBLIKA.CO.ID, oleh Antara, Wahyu Suryana
Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) menyatakan, ada pergerakan lempeng tektonik cukup aktif di wilayah Indo-Australia dengan Eurasia yang mengarah pada potensi gempa yang dapat menimbulkan tsunami di selatan Pulau Jawa. Pernyataan BMKG ini sejalan dengan hasil riset ITB sebelumnya.
"Ada (pergerakan) lempeng tektonik di Indo-Australia dengan Eurasia atau Lempeng Sunda di sebelah utaranya, sehingga lokasinya ada di selatan Jawa. Di laut lepas," kata Kepala Pusat Pusat Gempa Bumi dan Tsunami BMKG Rahmat Triyono, Jumat (25/9).
Rahmat mengatakan, potensi gempa yang dapat menimbulkan tsunami tersebut berada di sekitar 200 kilometer dari garis pantai di selatan Jawa ke arah laut bagian selatan. Lempeng-lempeng tektonik tersebut, katanya, terus mengalami pergerakan sekitar 6 cm sampai 7 sentimeter (cm) dalam kurun waktu satu tahun.
"Kalau untuk kurun waktu 1 tahun, pergerakan seperti itu enggak terasa. Tapi kalau untuk lempengan yang sangat besar, itu cukup aktif, dengan pergerakan seperti itu. Dan itu bergerak terus walaupun hanya dalam hitungan senti, tetapi (terus) menerus," katanya.
Sebelumnya, hasil riset Institut Teknologi Bandung (ITB) menyebutkan adanya potensi gempa dengan magnitudo 9.1 yang berpotensi menimbulkan tsunami hingga setinggi 20 meter di pantai selatan Jawa Barat dan 12 meter di selatan Jawa Timur. Terkait dengan prediksi potensi tsunami tersebut, Rahmat mengatakan kemungkinan potensi itu dapat dilihat dari adanya seismic gap, atau kekosongan kegempaan dalam periode waktu yang cukup panjang dengan magnitudo yang cukup signifikan.
"Jadi data-data dari adanya seimic gap di selatan Jawa, dan itu sebetulnya dua segmen. Di situ ada dua segmen yang bila terjadi (patahan) secara bersamaan akan menimbulkan (gempa) magnitudo 9.1," katanya.
"Jadi satu segmen terjadi (patahan) saja belum bisa diprediksi kapan terjadinya. Apalagi magnitudonya. Misalnya segmen di Jawa Barat magnitudonya 8.8, kemudian segmen di Jawa Timur 8.7. Nah, kalau itu terjadi bersamaan, itu bisa saja menimbulkan gempa magnitudonya 9.1," kata Rahmat lebih lanjut.
Dan jika gempa tersebut terjadi, Rahmat mengatakan gempa tersebut dapat memicu patahan di segmen atau lempengan lainnya. Sehingga, dapat menimbulkan gempa bumi dengan magnitudo yang maksimal.
Selain itu, Rahmat juga menekankan bahwa potensi tsunami tersebut sebenarnya tidak hanya bisa terjadi di selatan Jawa, tetapi juga di banyak wilayah Indonesia, antara lain di Pantai Barat Sumatera, bagian selatan Bali, Nusa Tenggara, bagian utara Papua, Manado dan Sulawesi Utara.
"Jadi tidak hanya di selatan Jawa. Di Maluku itu ada ancaman juga. Bahwa ancaman itu ada potensi gempa besar di sana itu betul," demikian kata Rahmat Triyono.
Untuk menguji kesiapan sistem diseminasi dalam menghadapi ancaman gempa bumi yang berpotensi gelombang pasang di selatan Pulau Jawa, BMKG akan mengadakan pelatihan evakuasi tsunami. Kegiatan itu bernama Indian Ocean Wave Exercise 20 (IOWave20).
Rahmat menerangkan, kegiatan tersebut setiap dua tahun sekali dan rencananya telah disiapkan sejak 2019 untuk menguji kesiapan sistem diseminasi BMKG dalam menghadapi ancaman gempa yang berpotensi tsunami.
"Kita sudah menyiapkan bahwa nanti di selatan Jawa akan ada skenario gempa yang magnitudonya 9.1. Itu sudah kita siapkan jauh hari," kata Rahmat.
Rahmat menekankan rencana kegiatan simulasi yang akan diselenggarakan BMKG tersebut telah disiapkan sejak lama dan tidak berkaitan dengan penemuan hasil riset ITB tentang prediksi potensi tsunami di selatan Pulau Jawa.
"Itu agenda dua tahunan. Kita sudah kita siapkan jauh hari, dan kebetulan skenarionya sama (dengan skenario hasil riset ITB), karena mereka juga menggunakan data BMKG. Tapi bukan karena ada viral itu terus kita membuat latihan, itu tidak," kata dia.
11 ribu gempa per tahun
Pada Juli lalu, Kepala BMKG Dwikorita Karnawati mengatakan, kejadian gempa bumi di Indonesia meningkat tiap tahun. Bila sebelum 2016 rata-rata 4.000-5.000 kali, 2017 sebanyak 7.000 kali, sejak 2018 hingga kini meningkat 11 ribu kali lebih setiap tahun.
Dwikorita menilai, peningkatan aktivitas kegempaan ini belum diketahui penyebabnya dan untuk menganalisis ini sangat perlu kajian mendalam. Menurut Dwikorita, pakar-pakar masih terus pula meneliti aktivitas pergeseran lempeng bumi.
"Apakah ini tren pengulangan atau memang ada peningkatan, sehingga perlu dievaluasi dengan dukungan data dan kerja sama banyak pihak," kata Dwikorita dalam webinar yang diadakan Departemen Teknik Geologi UGM, Jumat (19/7) lalu.
Dwi menuturkan, peningkatan aktivitas tektonik ini bisa saja terpengaruh oleh perubahan iklim dan sebagainya. Meski begitu, data yang dimiliki oleh BMKG menurutnya hanya pada kejadian kegempaan hanya sampai pada 200 tahun silam.
Artinya, catatan soal kejadian tahun yang lebih lama tidak dimiliki. Oleh karena itu, keterbatasan selama ini memang kita tidak cukup memiliki data sejarah gempa, dan hanya ada mulai tahun 1800-an, sekitaran 200 tahun yang lalu.
Peningkatan aktivitas kejadian gempa di Tanah Air ini sudah dilaporkan ke Presiden RI. Salah satu langkah yang bisa dilakukan BMKG kini tidak lain meminimalisir resiko bencana akibat gempa bumi dan bencana tsunami.
Namun, soal alat deteksi tsunami yang dimiliki sekarang dirasa sudah tidak layak pakai lagi karena sudah lampui batas kemampuan kerja alat yang hanya maksimal 10 tahun. Kini, dalam proses revitalisasi dan pengembangan.
Selain itu, kemampuan alat deteksi tsunami ini disebut tidak sesuai kebutuhan BMKG. Sebab, alat yang ada hanya mendeteksi gempa akibat aktivitas tektonik, dan aktivitas vulkanis seperti longsor di bawah laut justru tidak terdeteksi.
"Teknologi yang ada sampai hari ini didesain berdasarkan bencana tsunami di Aceh yang diakibatkan kejadian gempa tektonik, namun untuk kejadian gempa non tektonik, sistem itu tidak dirancang," ujar Dwikorita.
Menurut Dwi, kejadian tsunami di Banten beberapa waktu lalu akibat erupsi Gunung Krakatau jadi pelajaran berharga BMKG memasang alat deteksi tsunami tidak hanya pada kejadian gempa tektonik. Namun, juga kejadian non tektonik.
Untuk itu, BMKG sedang bekerja sama dengan BPPT, ITB dan lembaga-lembaga lain mengembangkan Earthquake Early Warning System atau sistem peringatan dini gempa bumi. Rencananya sensor alat deteksi ini dipasang di jalur megatrust.
"Sebarannya mengikuti megatrust, sekitar 400-an sensor yang diperlukan," kata Dwikorita.