REPUBLIKA.CO.ID, PAPUA -- Dewan Pimpinan Pusat Gerakan Angkatan Muda Kristen Indonesia (DPP GAMKI) berharap keadilan bisa didapatkan oleh keluarga mendiang Pendeta Yeremias Zanambani. Pada hari Sabtu (19/9), Yeremias tewas setelah terkena peluru di tengah baku tembak yang terjadi di wilayah Hitadipa, Kabupaten Intan Jaya, Provinsi Papua.
"Berdasarkan informasi yang kami dapatkan dari media resmi Gereja Kemah Injil Indonesia (GKII) serta beberapa media nasional dan lokal Papua, Pendeta Yeremias Zanambani terkena tembakan aparat pasukan TNI yang sedang melakukan operasi militer di wilayah tersebut. Sedangkan menurut pemberitaan beberapa media lainnya yang mengutip klarifikasi dari pihak TNI, penembakan dilakukan oleh Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB)," kata Ketua Umum GAMKI Willem Wandik, Jumat (25/9).
Kontak tembak antara TNI-Polri dan KKB telah terjadi berkali-kali selama beberapa tahun terakhir ini dan mengakibatkan adanya korban jiwa dari masyarakat sipil Papua, serta juga korban jiwa dari kedua pihak. Ratusan bahkan ribuan warga masyarakat, termasuk perempuan dan anak terpaksa harus mengungsi ke kampung-kampung lain dan masuk ke hutan demi menjaga keselamatan nyawa mereka.
"Terbunuhnya Pendeta Yeremias Zanambani dan peristiwa-peristiwa sebelumnya yang telah menelan korban jiwa dari masyarakat sipil merupakan tindakan keji yang melanggar Hak Asasi Manusia, secara khusus hak untuk hidup setiap warga negara yang dijamin oleh Undang-Undang Dasar 1945," kata Wilem.
Sekjen GAMKI Sahat Martin Philip Sinurat menambahkan, terkait peristiwa penembakan yang menyebabkan terbunuhnya masyarakat sipil ini, organisasinya menyatakan enam sikap:
Pertama, GAMKI mengecam keras terjadinya peristiwa penembakan yang menyebabkan terbunuhnya korban dari masyarakat sipil ini. Kedua, kata Sahat, GAMKI mendesak Pemerintah untuk segera mengungkap secara transparan setiap kasus penembakan, terkhusus yang mengakibatkan terbunuhnya masyarakat sipil Papua.
"Untuk itu perlu dibentuk Tim Pencari Fakta dan Investigasi Independen yang melibatkan perwakilan masyarakat sipil, antara lain Lembaga Gereja, Lembaga Adat, dan lembaga sipil lainnya," kata Sahat.
Ketiga, GAMKI meminta Panglima TNI dan Kapolri untuk menghentikan pengiriman dan mobilisasi ribuan pasukan non organik TNI-Polri ke Tanah Papua, seolah-olah Tanah Papua adalah Daerah Operasi Militer sehingga menimbulkan wacana yang dibangun oleh sebagian warga Papua berapa tahun terakhir ini dengan julukan Indonesia sebagai bangsa kolonial.
Keempat, lanjut dia, GAMKI mengingatkan kepada Bapak Presiden bahwa penggunaan kekerasan dan operasi militer hanya akan menyebabkan ketakutan dan luka hati yang mendalam di dalam diri warga Papua yang seharusnya justru mendapat perlindungan dan jaminan keamanan dari negara.
Kemudian, GAMKI memohon kepada Bapak Presiden untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM yang terjadi selama ini di Tanah Papua serta menyelesaikan masalah Papua dengan melibatkan lembaga agama dan kultural yang ada di Tanah Papua dengan pendekatan persuasif, kultural, dan kearifan lokal.
"Keenam, GAMKI meminta Bapak Presiden untuk mengevaluasi kinerja Panglima TNI, Kapolri, dan jajaran TNI-Polri yang terkait jika dalam waktu mendatang masih terjadi kasus penembakan yang menyebabkan adanya korban jiwa dari masyarakat sipil di Tanah Papua," ujar dia.