Selasa 22 Sep 2020 10:18 WIB

Fraksi PKS Desak Pemerintah Keluarkan Perppu Pilkada

Perppu atur penerapan protokol covid-19, larangan, dan sanksi cakada yang langgar.

Rep: Febrianto Adi Saputro/ Red: Ratna Puspita
Pilkada dalam bayang-bayang Covid-19
Foto: Republika
Pilkada dalam bayang-bayang Covid-19

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) mendesak agar pemerintah mengeluarkan perppu yang mengatur tekait penerapan protokol covid-19, larangan, dan sanksi tegas terhadap calon kepala daerah yang melanggar protokol kesehatan di pilkada serentak 2020. Anggota Fraksi PKS Mardani Ali Sera menilai pilkada rawan terjadi perselisihan sehingga perlu ada payung hukum yang kuat untuk mengantisipasi hal tersebut.

"Ketika semua hanya imbauan tidak ada payung hukum yang kuat maka kita sedang membuat bom waktu setelah pilkada, karena itu kalau mau menghapus pentas seni, konser musik, panen raya, jalan santai, lomba, (perlu) perppu, perppu, perppu," tegas Mardani dalam rapat kerja Komisi II dengan Kemendagri, KPU, Bawaslu, dan DKPP, Senin (21/9).

Baca Juga

Anggota Komisi II DPR Fraksi PKS Nasir Djamil mengatakan Perppu memiliki kedudukan yang cukup kokoh jika dibandingkan hanya diatur di dalam PKPU. "Kalau disuruh pilih sama saya, saya pribadi menyarankan agar pemerintah menerbitkan perppu agar kemudian larangan  dan sanksi diperoleh. Kalau perlu diskualifikasi, kalau nggak perlu jangan lah," ujarnya.

Legislator asal Aceh itu memandang di tengah kondisi saat ini maka pemerintah perlu mengambil langkah luar biasa. Apalagi, imbuhnya, Mendagri Tito Karnavian juga telah menyebut bahwa pilkada serentak kali ini merupakan extraordinary election.

"Karena pak menteri sudah mengatakan ekstraordinary election maka langkah-langkah kita juga harus extraordinary," ujarnya. 

Sementara itu, sekretaris Fraksi Partai Nasdem Saan Mustopa mendukung agar KPU merevisi Peraturan KPU (PKPU) Nomor 10 Tahun 2020. Menurutnya merevisi PKPU paling dimungkinkan untuk dilakukan ketimbang menerbitkan Perppu. 

"Harus mulai tegas misalnya melarang bentuk-bentuk kampanye yang berpotensi untuk mengundang kerumuman massa jumlah besar dan itu potensial melanggar protokol covid-19, itu satu hal, itu perlu secara tegas di dalam PKPU itu dibuat aturannya," ujar wakil ketua komisi II DPR tersebut.

Dalam kesimpulan rapat kerja Komisi II DPR dengan Kemendagri, KPU, Bawaslu dan DKPP, Komisi II DPR meminta KPU untuk segera merevisi PKPU Nomor 10 Tahun 2020 tentang Perubahan atas PKPU Nomor 6 Tahun 2020 tentang  Pelaksanaan Pilkada dalam Kondisi Bencana Non Alam. Revisi khususnya ditekankan pada pengaturan larangan menggelar pertemuan yang melibatkan massa banyak dan/atau kerumunan, seperti rapat umum, konser, arak-arakan dan lain-lain. 

Kemudian Ketua Komisi II DPR Ahmad Doli Kurnia Tandjung melanjutkan, revisi juga perlu dilakukan untuk mendorong kampanye melalui daring, serta mewajibkan penggunaan masker, handsanitizer, sabun dan alat pelindung kesehatan lainnya sebagai media kampanye.

"Penegakan disiplin dan sanksi hukum yang tegas sesuai UU Nomor 10 tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Wali Kota dan Wakil Wali Kota, khususnya Pasal 69 huruf e dan j dan 187 ayat 2 dan 3; UU Nomor 4 tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular, khususnya Pasal 14 ayat (1); UU Nomor 6 tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan, khususnya Pasal 93; dan penerapan KUHP bagi yang melanggar, khususnya Pasal 212, 214, 216 ayat (1), dan 218," kata Doli membacakan kesimpuan.

Politikus Partai Golkar itu menambahkan, revisi PKPU juga perlu ditekankan terkait pengaturan tata cara pemungutan suara, khususnya untuk pemilih yang berusia rentan terhadap Covid-19, dan pengaturan rekapitulasi pemungutan suara melalui e-rekap. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement