Kamis 17 Sep 2020 16:24 WIB

Kontroversi Izin Kampanye Pilkada dari KPU pada Masa Pandemi

Saat pertunjukan musik hidup masih dilarang, konser kampanye pilkada dibolehkan.

Petugas kesehatan menyemprotkan cairan disinfektan di Tempat Pemungutan Suara saat simulasi Pemilihan Kepala Daerah di Banyuwangi, Jawa Timur, Senin (14/9/2020). Simulasi tersebut digelar untuk menyiapkan segala hal yang diperlukan untuk penyelenggaraan Pilkada serentak pada 9 Desember 2020 di tengah wabah COVID-19.
Foto: Antara/Budi Candra Setya
Petugas kesehatan menyemprotkan cairan disinfektan di Tempat Pemungutan Suara saat simulasi Pemilihan Kepala Daerah di Banyuwangi, Jawa Timur, Senin (14/9/2020). Simulasi tersebut digelar untuk menyiapkan segala hal yang diperlukan untuk penyelenggaraan Pilkada serentak pada 9 Desember 2020 di tengah wabah COVID-19.

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Mimi Kartika, Ali Mansur, Nawir Arsyad Akbar, Antara

Meski pandemi Covid-19 di negeri ini masih berlangsung dan belum menunjukkan tanda-tanda penurunan kurva penularan, Komisi Pemilihan Umum (KPU) menyatakan, tetap mengizinkan beberapa bentuk kegiatan kampanye, salah satunya berupa konser pada Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2020. Namun, harus ada penyesuaian dengan situasi pandemi yang terjadi saat ini.

Baca Juga

"Boleh konser, rapat umum, bazar dengan catatan menyesuaikan dengan regulasi protokol kesehatan dan tentu telah disepakati dalam rapat koordinasi stakeholder," kata anggota KPU RI I Dewa Kade Wiarsa Raka Sandi di Jakarta, Rabu (16/9).

Menurut Raka, ada ketentuan dalam UU Pemilu dan peraturan lainnya yang mengatur kegiatan seperti kampanye. Sehingga bagi KPU, kata Raka, tidak mudah menghapus bentuk-bentuk kampanye dalam pilkada.

Pada realisasinya nanti, model kampanye tersebut, kata dia, frekuensinya diatur dan dibatasi. Hal itu juga merujuk pada kondisi daerah tempat menyelenggarakan pilkada. Untuk menentukan situasi daerah dan model kampanye apa yang mungkin dilaksanakan dalam kondisi pandemi, lanjut dia, perlu rapat koordinasi dengan pihak terkait.

"Yang penting dalam pengambilan keputusan di samping berdasarkan aturan juga tidak ada pihak yang dirugikan, diperlakukan secara adil," kata Raka.

KPU, kata dia, tentunya tetap mengutamakan kesehatan dan keamanan masyarakat. Sehingga penyelenggaraan tahapan pilkada, termasuk kampanye, terus diupayakan seaman mungkin dari bahaya pandemi Covid-19.

"Kalau kami KPU tentu bertekad bagaimana kemudian tahapan-tahapan demi tahapan itu tentu harus sesuai dengan protokol kesehatan," ucapnya.

Komisi Pemilihan Umum dalam Peraturan KPU Nomor 10 tahun 2020 pada Pasal 63 mengatur tentang kegiatan lain yang tidak melanggar larangan kampanye dan ketentuan peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 huruf G yakni, dilaksanakan dalam bentuk rapat umum.

Selanjutnya, bentuk kegiatan kebudayaan berupa pentas seni, panen raya, dan/atau konser musik, kegiatan olahraga berupa gerak jalan santai, dan/atau sepeda santai, perlombaan. Lebih lanjut, kegiatan sosial berupa bazar dan/atau donor darah, peringatan hari ulang tahun partai politik, melalui media sosial.

Namun, kegiatan-kegiatan tersebut pada pasal selanjutnya diatur harus dilakukan dengan membatasi jumlah peserta yang hadir paling banyak 100 orang, menerapkan protokol kesehatan pencegahan, dan pengendalian Covid-19. Untuk menyelenggarakan kegiatan itu, juga harus berkoordinasi dengan perangkat daerah yang menyelenggarakan urusan di bidang kesehatan dan/atau Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 setempat.

KPU juga masih merumuskan perubahan PKPU tentang Kampanye Pilkada. KPU mencantumkan pengaturan penanganan pelanggaran di masa kampanye dengan pemberian sanksi administrasi berupa teguran tertulis dan penghentian kegiatan kampanye.

"Bahwa KPU bisa memberikan peringatan tertulis dan juga menghentikan kegiatan kampanye," ujar Raka.

Ia mengatakan, langkah pertama dalam pemberian sanksi administrasi adalah imbauan, jika tidak diindahkan maka muncul teguran tertulis. Kemudian, KPU juga bisa berkoordinasi dengan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) serta aparat keamanan untuk menghentikan kegiatan yang terbukti melanggar ketentuan.

Namun, kata Raka, sanksi administrasi yang bisa diberikan KPU tidak dapat melebihi aturan Undang-Undang (UU) tentang Pilkada. Aturan protokol kesehatan dalam kegiatan pilkada diatur dalam PKPU Nomor 10 Tahun 2020 tentang perubahan atas PKPU Nomor 6/2020 tentang Pelaksanaan Pilkada Serentak Lanjutan Dalam Kondisi Bencana Nonalam Covid-19.

Raka mengatakan, di undang-undang tentang pilkada juga tidak diatur hukum pidana bagi pelanggar protokol kesehatan. Akan tetapi, penegakan hukum pidana atau sanksi pidana terkait protokol kesehatan dapat mengacu undang-undang lain di luar UU pemilihan.

"Tentu keseluruhan perundangan-undangan itu kita himpun untuk dijadikan dasar jangan sampai ada tindakan yang di luar undang-undang," kata dia.

Sementara itu, dikutip laman resmi Bawaslu RI, Rabu, Ketua Bawaslu RI Abhan mengatakan, pelanggaran administrasi dalam pilkada hasilnya berupa rekomendasi kepada KPU atau peserta pemilihan untuk ditindaklanjuti. Ia memastikan rekomendasi Bawaslu daerah wajib dilaksanakan KPU setingkat.

Anggota Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) RI, Rahmat Bagja, mengingatkan agar pihak yang berwenang tidak memberikan izin keramaian kepada peserta pilkada yang akan menggelar konser musik saat pilkada. Sebab, ada peraturan larangan kerumunan massa saat pandemi Covid-19 yang harus dipatuhi setiap pihak.

"Kami sudah ingatkan bahwa ini jangan sampai teman-teman yang mempunyai kewenangan untuk memberikan izin keramaian," ujar Bagja dalam rekaman diskusi daring yang sudah dikonfirmasi Republika.co.id, Rabu (16/9).

"Kenapa? Karena sesuai dengan protokol Covid-19 kan tidak boleh berkumpul," lanjut dia.

Bagja mengatakan, semua pihak harus mematuhi protokol kesehatan pencegahan dan pengendalian Covid-19. Ia juga menyinggung adanya konser musik deklarasi salah satu bakal calon menyebabkan pengumpulan warga di tengah pandemi virus corona.

"Waktu itu ada konser, konser ini kan ada izinnya, izinnya dari siapa, nah inilah yang harusnya kita gali bersama kemarin. Jadi jangan sampai nanti terulang lagi tidak ada izin konser lagi," kata Bagja.

Bagja meminta aparat kepolisian segera membubarkan massa ketika ada pengumpulan masyarakat. Ia juga meminta jajaran Satpol PP mengantisipasi berkumpulnya massa yang akan melakukan aksi saat penetapan pencalonan oleh KPU setempat pada 23 September nanti.

Menurut Bagja, aparat penegak hukum dapat membubarkan atau memerintahkan masyarakat saat ada indikasi massa berkumpul. Hal tersebut sebagai upaya pencegahan pelanggaran protokol kesehatan saat pilkada maupun penyebaran Covid-19 itu sendiri.

"Pemberian izin itu tidak diperkenankan, jadi ketika ada massa mulai datang itu bisa kemudian teman-teman penegak hukum, Satpol PP, dan kepolisian sudah bisa memulangkan para massa yang sudah mau keluar karena mereka pasti punya tempat berkumpul," tutur Bagja.

In Picture: DPR Bahas Pilkada Serentak 2020 dengan KPU dan Bawaslu

photo
Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) Muhammad (tengah) bersama Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Arief Budiman (kiri) dan Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Abhan (kanan) bersiap mengikuti Rapat Kerja/Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi II DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (10/9/2020). Rapat yang juga diikuti oleh Mendagri Tito Karnavian secara daring itu membahas evaluasi pelaksanaan tahapan Pilkada Serentak 2020. - (ANTARA/Akbar Nugroho Gumay)

Kontradiksi sikap KPU dengan kondisi pandemi seperti saat ini menuai protes dari kalangan musisi salah satunya, Anang Hermansyah. Ia mempertanyakan aturan KPU yang membolehkan konser musik saat kampanye pilkada, namun di sisi yang lain hingga saat ini, para pekerja seni tak kunjung mendapat izin pertunjukan baik di kafe maupun di tempat lainnya.

"Aturan KPU ini kok kontradiksi dengan kebijakan pemerintah soal larangan kegiatan kesenian seperti aktivitas musik di kafe. Kalau memang bisa, ya buka juga kafe dengan menerapkan protokol kesehatan pencegahan pengendalian Covid-19 dengan ketat," ujar dalam siaran persnya, Rabu (16/9).

Menurut mantan anggota Komisi X DPR RI hingga saat ini, profesi seniman khususnya musisi di kafe-kafe kesulitan dalam menggelar kegiatan bermusik yang biasanya dilakukan di kafe dan tempat hiburan. Sementara salah satu profesi yang hingga saat ini terpukul akibat Covid adalah para seniman khususnya yang selama ini berkesenian di kafe dan tempat hiburan.

"Aturan KPU ini terus terang membuat kita bingung. Kalau memang boleh ya ayo kita buka kafe dan tempat hiburan dan kita terapkan protokol kesehatan Covid-19 secara ketat," tegas Anang.

Namun jika pemerintah konsisten, imbuh Penasihat Federasi Serikat Musisi Indonesia (FESMI) ini, sebaiknya aturan kampanye dengan menggelar konser musik agar ditiadakan. Menurut dia, jika aturan ini tetap diterapkan ada asas keadilan yang dilanggar oleh pemerintah.

"Saran saya, baiknya aturan tersebut ditiadakan. Ada asas keadilan yang dilanggar. Musisi kafe tentu tidak mendapat perlakuan yang sama atas kebijakan ini," Anang menambahkan.

"Jika pemerintah bersikap adil, aturan tersebut dapat diadposi oleh musisi kafe agar tetap dapat berkesenian di situasi pandemi ini. Tentunya dengan syarat dan ketentuan yang sama seperti ada pembatasan pengunjung, menerapkan protokol kesehatan," tutup Anang.

Respons DPR

Anggota Komisi II DPR RI Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) Guspardi Gaus meminta KPU mengkaji lagi aturan izin calon kepala daerah yang akan menggelar konser saat kampanye. Sebab, kerumunan warga ketika digelarnya konser akan memicu penularan Covid-19.

"Pandemi kan ada anjuran jaga jarak, tidak boleh ada kerumunan. Hal yang bersifat kerumunan berpotensi kepada penularan pandemi Covid-19," ujar Guspardi saat dihubungi, Kamis (17/9).

Selain itu, konser musik sebenarnya tidak efektif bagi calon kepala daerah dalam kampanye. Lantaran PKPU Nomor 10 tahun 2020 pada Pasal 63 membatasi jumlah peserta yang hadir paling banyak 100 orang.

Untuk itu, ia menyarankan pasangan calon kepala daerah, tim pemenangan, dan partai politik pengusung mencari model kampanye lain yang lebih inovatif di tengah pandemi.

"Artinya bagi paslon rasanya tidak efektif karena berbiaya tinggi, dalam langkah sosialisasi konser ini untuk yang datang supaya kenali paslon kan gitu. Sebenarnya hanya media untuk melakukan pertemuan," ujar Guspardi.

Senada dengan Guspardi, Wakil Ketua DPR RI Azis Syamsuddin meminta calon kepala daerah (cakada) untuk mengubah dan mempertimbangkan strategi pemenangan yang memanfaatkan konser musik dalam kampanye guna menarik dan menghibur para calon pemilih dalam pilkada.

"Saya berharap pasangan calon kepala daerah dapat memberikan arahan kepada tim sukses untuk mencari strategi baru pemenangan pada masa pandemi Covid-19," kata Azis dalam keterangannya di Jakarta, Kamis (17/9).

Ia menyebutkan strategi baru dalam pemenangan itu, misalnya dengan tidak mengadakan konser musik guna mencegah penyebaran Covid-19 dan menjaga keselamatan masyarakat. Azis berharap para pasangan cakada memiliki komitmen meskipun KPU memperbolehkan konser musik saat kampanye Pilkada 2020.

Kendati demikian, lanjut dia, harus ada strategi baru dalam menggaet pemilih agar jangan sampai pilkada menambah jumlah pasien Covid-19. "Saat ini banyak kriteria masyarakat yang terkena Covid-19, misalnya orang tanpa gejala (OTG), tentunya tidak dapat dijamin ketika terjadi konser musik dan berkerumun di tengah lapang atau di dalam ruang tertutup, seperti GOR atau aula, yang menyebabkan masyarakat terpapar," ujarnya.

photo
Kontroversi Pilkada di tengah pandemi Covid-19. - (Berbagai sumber/Republika)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement