Selasa 15 Sep 2020 18:43 WIB

Desakan Tunda Pilkada 2020, Ini Kata KPU

KPU menyatakan tahapan tetap dilaksanakan sesuai dengan aturan yang berlaku.

Rep: Mimi Kartika / Red: Ratna Puspita
Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) I Dewa Kade Wiarsa Raka Sandi
Foto: Antara/M Risyal Hidayat
Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) I Dewa Kade Wiarsa Raka Sandi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI I Dewa Kade Wiarsa Raka Sandi mengatakan opsi penundaan pemilihan kepala daerah (Pilkada) 2020 karena Covid-19 telah diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 6 Tahun 2020. Aturan itu telah mengatur mekanisme dan pihak yang berwenang mengambil keputusan penundaan.

"Saya kira tentang opsi penundaan sudah jelas diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2020 mekanismenya siapa para pihak yang kemudian diberikan kewenangan oleh undang-undang untuk mengambil keputusan itu," ujar Raka dalam diskusi daring terkait evaluasi penerapan protokol kesehatan dalam pilkada, Selasa (15/9).

Baca Juga

Namun, penundaan pilkada karena pemungutan suara tidak bisa dilaksanakan pada 9 Desember 2020 akibat pandemi Covid-19 belum berakhir tidak hanya keputusan KPU sendiri. Dalam Pasal 122A UU 6/2020, penetapan penundaan tahapan pelaksanaan pemilihan serentak dilakukan atas persetujuan bersama antara KPU, pemerintah, dan DPR.

"Dalam hal ini sekali lagi tahapan tetap dilaksanakan sesuai dengan aturan yang berlaku," kata Raka.

Pendiri sekaligus peneliti Network for Democracy and Electoral Integrity (Netgrit) Hadar Nafis Gumay mengatakan, penetapan penundaan pilkada yang harus disetujui pemerintah dan DPR menjadi kemunduran bagi kemandirian KPU sebagai penyelenggara pemilihan. Dalam UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, penetapan pilkada dalam skala lokal menjadi kewenangan KPU daerah.

"SK-nya (Surat Keputusan) saja keluar dari KPU, tetapi sebelum menjadi dasar SK itu harus persetujuan bertiga. Jadi memang itu sudah model yang sekarang, sudab terkunci akhirnya penyelenggara kita. Itu yang menurut saya kemunduran ya sebetulnya dari pengaturan ini," kata Hadar.

Ia mendesak pilkada ditunda karena setiap pihak yang terlibat dalam pemilihan tidak siap dalam mematuhi protokol kesehatan pencegahan dan pengendalian Covid-19. Selain itu, dasar desakan ini bahwa undang-undang pemilihan yang berlaku mengatur pilkada dalam kondisi normal, tidak mengatur detail mekanisme pilkada dalam masa pandemi.

Karena itu, lanjut Hadar, pemangku kepentingan baik itu pemerintah, penyelenggara pemilihan, dan DPR sebaiknya menyiapkan regulasi terlebih dahulu. Sebab, tidak bisa hanya mengandalkan kepatuhan setiap pihak menjalankan protokol kesehatan. 

Menurut dia, regulasi harus mengatur tidak adanya tahapan yang dapat menimbulkan kerumunan massa. Saat ini, KPU hanya membatasi kegiatan pilkada yang bersifat pertemuan fisik seperti kampanye karena kampanye dengan pertemuan fisik masih diatur dalam undang-undang pilkada.

Padahal, lanjut Hadar, pembatasan jumlah peserta pilkada yang hadir dalam kegiatan kampanye tak menjamin protokol kesehatan dipatuhi. Hal itu berkaca pada kerumunan massa yang melakukan arak-arakan terjadi pada tahapan pendaftaran pencalonan meski KPU mengatur pembatasannya dan imbauan massa tak melakukan konvoi juga sudah disampaikan.

"Jadi dilarang saja semua pertemuan-pertemuan itu, kita ubah. Untuk seperti itu undang-undangnya harus diubah, enggak cukup dalam peraturan. Menurut saya kita jeda dulu, rapikan secara lebih cermat, baru kita lanjutkan lagi," kata Hadar. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement