REPUBLIKA.CO.ID, ISTANBUL -- Turki tak berharap menghadapi sanksi Uni Eropa (UE) atas perselisihan dengan Yunani di Mediterania Timur. Demikian ditegaskan Menteri Luar Negeri Mevlut Cavusoglu pada Senin, sehari setelah kapal survei Turki mundur dari perairan yang diperebutkan.
UE mengatakan mendukung penuh negara-negara anggota Yunani dan Siprus dalam perselisihan mereka dengan Turki. Uni Eropa juga mengatakan sedang menyusun sanksi potensial jika dialog tidak dimulai.
Cavusoglu mengulangi Turki terbuka untuk pembicaraan tanpa prasyarat, tetapi menambahkan bahwa kapal penelitian seismik Oruc Reis akan segera melanjutkan operasi setelah berlabuh di lepas pantai selatan Turki pada Ahad (13/9).
Dia tidak mengharapkan para pemimpin Uni Eropa yang telah menyetujui sanksi ringan terhadap Turki, untuk mengambil langkah lebih lanjut.
"Itu bisa bertentangan dengan kapal kami, perusahaan kami, individu. Mereka mengambil keputusan seperti itu di masa lalu. Apakah kami sudah menyerah pada tekad kami? Tidak, tekad kami meningkat," kata Cavusoglu kepada penyiar NTV.
Ketegangan meningkat setelah Yunani dan Siprus yang didukung oleh Prancis bersengketa dengan Turki atas wilayah maritim Laut Aegea yang berpotensi kaya akan gas alam.
Ancaman sanksi sebagian mendorong lira Turki lebih dalam ke rekor terendah. Situasi mempersulit pemulihan negara itu dari kemerosotan ekonomi yang tajam akibat pandemi virus Corona.
Juru bicara Kepresidenan Turki Ibrahim Kalin mengunggah cicitan bahwa solusi damai dapat ditemukan. "Yunani dan negara-negara Uni Eropa tidak boleh menyia-nyiakan kesempatan yang diberikan untuk diplomasi dan harus mengambil langkah timbal balik," kata dia melalui Twitter, tanpa menjelaskan lebih lanjut.
Dalam kunjungan singkat ke Siprus pada Sabtu (12/9), Menteri Luar Negeri Mike Pompeo mengatakan Amerika Serikat "sangat prihatin" terhadap tindakan Turki. Ankara menjawab pernyataan tersebut dengan menyatakan bahwa Washington perlu lebih netral.