Kamis 10 Sep 2020 21:36 WIB

Komjak: KPK Harus Dilibatkan Ungkap Kasus Djoko Tjandra

Komjak tetap mendorong KPK terlibat dalam pengungkapan skandal Djoko Tjandra.

Rep: Bambang Noroyono/ Red: Bayu Hermawan
Ketua Komisi Kejaksaan Barita Simanjuntak (kanan)
Foto: ANTARA/M Risyal Hidayat
Ketua Komisi Kejaksaan Barita Simanjuntak (kanan)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Kejaksaan (Komjak) meminta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk tetap terlibat dalam pengungkapan skandal hukum terpidana Djoko Sugiarto Tjandra. Komjak menduga skandal suap, gratifikasi dari terpidana kasus Bank Bali 1999 itu, tak cuma hanya melibatkan oknum di Kejaksaan Agung (Kejakgung) dan kepolisian, tapi juga menyertakan oknum di lembaga penegakan hukum lain sampai ranah yudikatif.

Ketua Komjak Barita Simanjuntak menjelaskan, objek utama suap, dan gratifikasi Djoko, adalah fatwa bebas Mahkamah Agung (MA). Djoko, sudah mengeluarkan 500 ribu dolar AS (Rp 7,5 miliar) sebagai panjar dari tujuannya itu. Uang tersebut, diberikan kepada tersangka jaksa Pinangki Sirna Malasari. Peran politikus, Andi Irfan sebagai tersangka perantara Djoko ke Pinangki, menurut Barita, sulit dipercaya tak melibatkan oknum di institusi yang mengaluarkan fatwa.

Baca Juga

"Djoko Tjandra ini, dia juga bukan orang bodoh. Dia (Djoko) mengeluarkan uang (Rp 7,5 miliar), untuk sesuatu yang tidak pasti didapatkan, itu rasanya tidak mungkin. Artinya, apa yang mau dia beli (fatwa MA), itu pastinya sudah ada disiapkan di sana (MA)," katanya, Kamis (10/9). 

Komjak, kata Barita meyakini, pengungkapan yang dilakukan tim penyidikan di Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (JAM Pidsus) Kejakgung, baru sebatas bungkus yang belum masuk ke objek utama skandal tersebut.

Pengungkapan di Bareskrim Polri, sudah menetapkan lima orang tersangka. Di antaranya Irjen Napoleon Bonaparte, dan Brigjen Prasetijo Utomo. Kedua jenderal itu terlibat aliran suap dari Djoko senilai 20 ribu dolar (Rp 296-an juta) terkait pencabutan status buronan di interpol, dan imigrasi, serta surat, juga dokumen palsu. Pemberian uang itu dilakukan lewat perantara pengusaha Tommi Sumardi yang juga ditetapkan sebagai tersangka, bersama pengacara Anita Kolopaking.

Belakangan, terungkap uang suap dari Djoko, ke Pinangki, juga mampir ke Anita senilai 50 ribu dolar (Rp 500-an juta), yang diduga sebagai operasional pengaturan Peninjauan Kembali (PK) di PN Jakarta Selatan. Hasil penyidikan di dua institusi penegak hukum, Kejakgung, dan Polri tersebut, kata Barita, menampilkan kolaborasi mafia hukum lintas institusi yang dibantu oleh politikus, serta pengusaha, dan pengacara. 

"Karena itu, perlu untuk KPK supaya tetap melakukan, apakah itu namanya kordinasi, ataupun supervisi, untuk tetap membantu Kejaksaan, dan Polri mengungkap siapa-siapa saja yang belum dijangkau (oleh Kejaksaan, dan Polri)," jelas Barita. 

Barita percaya KPK punya instrumen penyidikan yang lebih mampu menjangkau adanya keterlibatan pihak-pihak lain, yang belum tersentuh dalam penyidikan di JAM Pidsus, maupun di Bareskrim. "KPK mungkin juga meyakini, dan punya bukti-bukti lain adanya keterlibatan oknum-oknum lain dari lembaga penegak hukum yang lain. Apakah itu, yang disebutkan itu (adanya keterlibatan oknum) di pengadilan, atau yang di MA," ujarnya. 

Namun, Barita menolak untuk menilai, pengungkapan yang sudah dilakukan di JAM Pidsus maupun di Bareskrim selama ini, menghasilkan proses hukum yang sia-sia. 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement