Kamis 10 Sep 2020 07:20 WIB

300 Pelanggaran Prokotol Kesehatan dan Opsi Tunda Pilkada

Tingkat kepatuhan yang rendah sangat berpotensi picu klaster Covid-19 Pilkada.

Sejumlah pendukung dan simpatisan pasangan bakal calon Bupati dan Wakil Bupati Asmat, Elisa Kambu dan Thomas Eppe Safanpo berkumpul untuk menyaksikan proses pendaftaran calonnya menjadi kontestan di Pilkada serentak 2020 di KPU Asmat, Papua, Ahad (6/9). Pemerintah mencatat hingga Rabu (9/9), terjadi 300 pelanggaran protokol kesehatan Pilkada dan 59 balon kepala daerah yang terinfeksi Covid-19.
Foto: ANTARA/Sevianto Pakiding
Sejumlah pendukung dan simpatisan pasangan bakal calon Bupati dan Wakil Bupati Asmat, Elisa Kambu dan Thomas Eppe Safanpo berkumpul untuk menyaksikan proses pendaftaran calonnya menjadi kontestan di Pilkada serentak 2020 di KPU Asmat, Papua, Ahad (6/9). Pemerintah mencatat hingga Rabu (9/9), terjadi 300 pelanggaran protokol kesehatan Pilkada dan 59 balon kepala daerah yang terinfeksi Covid-19.

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Mimi Kartika, Inas Widyanuratikah, Nawir Arsyad Akbar, Antara

Risiko besar mengancam warga di tengah penyelenggaraan pemilihan kepala daerah (pilkada) saat pandemi Covid-19 akibat ketidakpatuhan terhadap protokol kesehatan. Pemangku kepentingan tidak bisa menutup diri pada opsi penundaan Pilkada 2020.

Baca Juga

Berdasarkan data pemerintah, terjadi 300 peristiwa pelanggaran protokol kesehatan saat pendaftaran bakal calon (balon) kepala daerah pekan lalu. Mayoritas pelanggaran protokol kesehatan adalah dengan membuat kerumunan.

Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggaraini menilai, opsi penundaan Pilkada harus jadi pertimbangan besar. "Para pihak tidak bisa menutup diri pada berbagai opsi guna mengantisipasi berbagai risiko yang timbul dalam penyelenggaraan Pilkada 2020, termasuk pula opsi penundaan pilkada sekalipun," ujar Titi kepada Republika.co.id, Rabu (9/9).

Menurut dia, penyelenggaraan pilkada dalam kondisi pandemi Covid-19 tidak hanya bergantung pada penyelenggara pemilihan. Pemerintah juga perlu menyokong penyelenggara untuk melaksanakan teknis tahapan pilkada bersamaan dengan memastikan semua pihak disiplin ketat menerapkan protokol kesehatan.

Termasuk penindakan tegas pada setiap pelanggaran yang terjadi berkaitan dengan ketentuan protokol kesehatan di setiap kegiatan pilkada. Jika tidak, gelaran pilkada justru akan menjadi ancaman bagu masyarakat terhadap risiko penularan Covid-19.

"Harus diakui ada risiko besar yang mengancam warga di tengah perhelatan pilkada apabila tidak ditopang displin para pihak pada protokol kesehatan," kata Titi.

Ia menjelaskan, negara yang berhasil menyelenggarakan pemilihan di masa pandemi Covid-19 ialah negara-negara yang juga menunjukkan keberhasilan mereka dalam menangani virus corona. Masyarakatnya pun cenderung menunjukkan kepatuhan dan disiplin yang tinggi pada protokol kesehatan.

Sejumlah negara tersebut juga memiliki regulasi yang bisa beradaptasi menopang pemilihan di masa pandemi. Misalnya, perpanjangan waktu pemilihan serta inovasi metode pemilihan yang tidak mengharuskan pemilih datang secara fisik ke tempat pemungutan suara (TPS), melainkan pemilihan melalui pos.

Selain itu, kata Titi, negara tersebut juga didukung dengan pemanfaatan teknologi sejak lama. Contohnya pemutakhiran data pemilih secara berkelanjutan dan terkoneksi secara daring dengan data base sentral sehingga ketika pandemi tidak perlu ada aktivitas pemutakhiran data.

Lalu juga penghitungan suara secara elektronik yang bisa mengurangi sentuhan antarorang maupun dengan benda yang digunakan bersama-sama. Menurut Titi, fleksibilitas regulasi pemilihan agar bisa beradaptasi cepat dengan kondisi pandemi dan daya dukung reknologi secara optimal belum tersedia di Indonesia.

"Selain yang paling membedakan adalah, Indonesia tidak memiliki kepatuhan dan disiplin pada protokol kesehatan sebagaimana yang dipraktikkan oleh negara yang sukses menyelenggarakan pemilu di masa pendemi," tutur Titi.

Ia mencontohkan negara yang cukup berhasil menggelar pemilihan kala pandemi adalah Korea Selatan, Jerman dan Mongolia. Titi mengatakan, penundaan pilkada bukan berarti menunggu wabah Covid-19 benar-benar hilang, tetapi segala kebutuhan untuk melaksanakan pilkada dalam kondisi pandemi.

Sebab, undang-undang yang berlaku saat ini mengatur penyelenggaraan pemilihan dalam kondisi normal. Pemangku kepentingan seharusnya dapat menyiapkan pelaksanaan pilkada dengan lebih maksimal, mulai dari regulasi, infrastruktur, hingga sikap disiplin masyarakat menerapkan protokol kesehatan.

"Tentu perlu waktu menyiapkan hal-hal yang diperlukan itu. Sementara kita hanya punya terbatas dan sedikit waktu untuk mengejar berbagai ketentuan dan infrastruktur yang diperlukan tersebut," lanjut dia.

Kopel Indonesia mengingatkan pemerintah dan KPU, Pilkada akan sangat berpotensi menjadi klaster baru Covid-19. Kopel Indonesia mencatat Covid-19 mulai menyerang sejumlah calon kepala daerah dan tim pemenangannya.

"Keputusan pemerintah untuk melaksanakan Pilkada Serentak di 270 daerah sedang berlangsung. Sekarang sudah berada pada tahap pendaftaran calon. Namun seiring itu juga sejumlah calon terpapar Covid-19 dan mulai menyebar pada tim pemenangan," kata Direktur Kopel indonesia, Anwar Razak, Rabu (9/9).

Setidaknya delapan calon sudah terpapar Covid-19. Beberapa di antaranya adalah Cawabup Luwu Utara Arsyad Kasmar, Cabup Luwu Timur Irwan Bachri, Cawalkot Binjai Lisa, Cabup Solok Selatan Khairunas, Cabup Rokan Hilir Suyatno, Cabup Lampung Selatan Antoni Imam, Cawabup Klaten Muhammad Fajri, dan Cawabup Dompu berinisial IR.

Hasil pantauan lapangan Kopel Indonesia juga menemukan sejumlah calon yang mengadakan konsolidasi, deklarasi dan bentuk kerumunan lainnya dengan jumah ratusan orang. Kegiatan ini dilakukan tanpa ada protokol kesehatan.

"Tidak ada lagi jarak antara orang, masker hanya dikalungkan dileher, berdesakan dan bersentuhan dan bentuk pelanggaran lainnya terjadi di lapangan. Kelihatan hanya hasrat berkuasa yang ada, keselamatan orang-orang tak lagi dihiraukan," kata dia lagi.

Dengan kondisi ini, Kopel Indonesia mengingatkan kepada KPU dan pemerintah jangan sampai menjadi sumber malapetaka bagi warga di 270 daerah. Sebab, Pilkada sangat berpotensi menjadi klaster baru Covid-19.

Kopel Indonesia juga mengingatkan agar KPU dan pemerintah bertanggung jawab atas hal ini. "Jangan hanya berani membuat keputusan dan mengeluarkan aturan tapi tidak bertanggungjawab pada pelaksanaan," kata Anwar menegaskan.

Ia menilai, setelah keputusan pemerintah untuk pelaksanaan Pilkada serentak 2020 dan keluarnya PKPU No.6 tahun 2020, pemerintah seakan melepas pelaksanaan tahapan Pilkada tanpa kontrol. Padahal dalam dalam aturan PKPU no. 6 tahun 2020 tentang Pilkada dalam Kondisi Bencana Nonalam Covid-19 sangat jelas protokolnya termasuk pelarangan berkumpul.

Meskipun banyak pelanggaran di lapangan, lanjut Anwar, KPU dan KPUD tidak memberikan teguran. Bahkan, Bawaslu daerah tidak menjadikannya sebagai temuan. Padahal Dalam PKPU no. 6 tahun 2020 Pasal 11 ayat (2) jelas dinyatakan, dalam hal terdapat pihak yang melanggar harus ditegur.

Dalam data terkini pemerintah yang disampaikan Menko Polhukam, Mahfud MD, bahkan sudah ada 59 balon Pilkada yang terinfeksi Covid-19. "Perkembangan menariknya begini, kemarin Pak Ketua KPU, Pak Arief diundang presiden rapat, melapor saat itu ada calon yang terinfeksi Covid 37 orang. Ini tadi jam satu, laporannya bertambah menjadi 46 orang. Dua jam atau satu setengah jam kemudian, ini laporan terakhir tadi sudah ada 58 calon yang terinfeksi Covid-19 tersebar di 21 provinsi, sekarang tambah satu lagi," kata dia di kantornya, Jakarta Pusat, Rabu (9/9).

Mahfud meminta semua pihak yang berpartisipasi dalam pelaksanaan yang akan berlaga Pilkada 2020 untuk tidak main-main dengan Covid-19. Dia meminta penyelenggara Pilkada harus bertindak tegas dalam menerapkan disiplin protokol kesehatan.

"Jangan main-main dengan Covid. Kepada masyarakat yang mau berpartisipasi di dalam Pilkada ini, apapun bentuknya apa sebagai kontestan, timses, atau pemilih sebagai masyarakat biasa supaya memperhatikan ini, agar tidak membahayakan diri sendiri dan orang lain," ujar Mahfud.

Dia meminta semua pihak yang terlibat dalam pelaksanaan tahapan Pilkada untuk tidak saling membahayakan. Menurut dia, yang bisa menyelamatkan dan mengendalikan penyebaran Covid-19 adalah disiplin terhadap protokol kesehatan, terutama disiplin memakai masker, cuci tangan pakai sabun, dan tidak berkerumun.

Mahfud sudah mendengarkan daerah-daerah mana saja yang rawan baik dari segi penyebaran Covid-19 maupun dari segi keamanannya. "Kesimpulannya memang pada akhirnya tadi disampaikan Pak Mendagri harus ada tindakan tegas oleh semua penyelenggara. Dalam rangka penegakan disiplin dengan penjatuhan sanksi yang tegas," jelas dia.

Sementara itu Komisi II DPR akan mengkaji sanksi bagi pasangan calon yang melanggar protokol Covid-19 saat proses pelaksanaan Pilkada 2020. Termasuk sanksi penundaan pelantikan bagi calon kepala daerah yang menang.

"Nanti kita lihat jenis pelanggaran yang mereka lakukan. Nanti diakumulasi dan memang layak (disanksi) nanti kita sepakati bersama," ujar Wakil Ketua Komisi II Saan Mustopa.

Salah satu yang akan dikaji adalah kemampuan daerah jika pemimpinnya tak ada. Sebab jika sanksi tersebut diterapkan, akan ada ketidakpastian daerah perihal pemimpinnya.

"Kalau tidak nanti pasti masa jabatan habis akan ada pejabat kan, sementara sudah ada yang terpilih. Ini juga akan menimbulkan ketidakpastian juga di daerah," ujar Saan.

Dalam waktu dekat, Komisi II akan menggelar rapat dengan Kementerian Dalam Negeri, KPU, dan Bawaslu. Mereka akan lebih merinci jenis-jenis sanksi bagi pelanggar protokol Covid-19. "Ini yang akan kita bicarakan karena kita belajar dari pengalaman tahapan pendaftaran dari tanggal 4-6, di dalam KPU bisa tertib. Tapi yang mengantarnya itu tidak terkendali," ujar Saan.

Pasalnya, menurutnya masih ada tiga tahapan lain yang berpotensi hadirnya massa. Ketiganya yakni pengundian nomor urut, kampanye, dan pemungutan suara

"Ke depan yang potensial adanya pelanggaran protokol kesehatan Covid-19 ini yang harus diwaspadai. Harus diantisipasi untuk dibicarakan langkah-langkahnya," ujar Saan.

photo
Kepala Daerah yang Meninggal karena Covid-19 - (Data Republika)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement