REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sidang perkara gugatan pembatalan Surat Presiden (Surpres) Omnibus Law RUU Cipta Kerja berlanjut pada Selasa (8/9) kemarin. Tim Advokasi Penggugat mencatat sejumlah keterangan saksi yang menunjukkan adanya cacat prosedural dalam proses pembuatan RUU Ciptaker.
Dalam sidang yang bernomor 97/G/2020/PTUN-JKT itu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) selaku tergugat yang diwakili Jaksa Pengacara Negara menghadirkan tiga saksi fakta dari Kementerian Koordinator Perekonomian (Kemenko Perekonomian), Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) dan Kementerian Sekretariat Negara (Kemensesneg).
"Keterangan yang dihadirkan para saksi mengonfirmasi bahwa pemerintah tidak pernah membuka draf dan Naskah Akademik RUU Cipta Kerja hingga pembahasan diserahkan ke DPR RI dengan alasan menghindari kegaduhan publik," kata Merah Johansyah Ismail dan Tim Advokasi Untuk Demokrasi Bersama Para Pengugat Surat Presiden yang terdiri dari KPBI, KPA, dan YLBHI, dalam keterangannya, Rabu (9/9).
Para penggugat mengatakan pemerintah juga mengakui bahwa Naskah Akademik RUU Cipta Kerja dibuat secara bersamaan dengan draf RUUnya. Mereka mengatakan saksi fakta pertama Kepala Biro Hukum dan Organisasi Kemenko Perekonomian I Ktut Hadi Priatna mengklaim draf yang beredar di publik sebelum Surpres diterbitkan bukan merupakan draf yang benar. Sementara draf RUU baru dibuka ke publik setelah pembahasan telah diserahkan ke DPR RI.
Para penggugat menambahkan Naskah Akademik RUU Ciptaker tidak pernah diberikan dalam pertemuan dengan buruh sebelum Surpres diterbitkan untuk menghindari kegaduhan publik. Adapun informasi yang diberikan hanya berbentuk poin-poin dalam presentasi saja.
Namun, menurut penggugat, Hadi Priatna mengklaim bahwa pemerintah telah melibatkan buruh secara aktif dengan membuat Tim Koordinasi khusus untuk kluster ketenagakerjaan. "Padahal di tanggal yang sama pula, Surat Presiden yang menyerahkan kewenangan pembahasan RUU Cipta Kerja ke DPR RI ditandatangani oleh Presiden RI," kata Merah.
Ketika dikonfirmasi, ia mengatakan, Hadi hanya menjelaskan bahwa hal tersebut merupakan kewenangan Presiden RI. Sedangkan pembentukan tim dimaksudkan untuk menunjukan bahwa buruh telah terlibat dalam penyusunan.
Tim Advokasi menyampaikan, itu bertolak belakang dengan keterangan yang disampaikan Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) dan Konfederasi Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI) dalam persidangan sebelumnya. Kedua konfederasi yang dicatut sebagai anggota menyatakan tidak pernah mendapatkan informasi yang jelas terkait pembentukan tim tersebut dan tidak pernah dilakukan pertemuan terkait pembahasan poin-poin ketenagakerjaan dalam RUU Cipta Kerja sebelum diserahkannya kewenangan pembahasan kepada DPR melalui Surpres.
Saksi fakta kedua yang dihadirkan adalah Nasrudin sebagai Widyaiswara utama Kemenkumham yang menyatakan terlibat langsung dalam penyusunan Naskah Akademik dan pembahasan draf RUU Cipta Kerja sebelum diserahkan ke DPR RI. "Nasrudin menyampaikan draf RUU Cipta Kerja tidak dibuat setelah Naskah Akademiknya telah rampung, melainkan dibuat secara bersamaan (simultan)," tulis Tim Advokasi.
Adapun saksi fakta ketiga adalah Ahmad Hadi dari Mensesneg. Menurut pengugat, saksi ketiga tidak mengetahui mengenai proses penyusunan dan konsultasi publik yang dilakukan dalam penyusunan. Ahmad hanya menjelaskan bahwa dirinya bertugas dalam melakukan pemeriksaan syarat-syarat formil di internal Kemensesneg untuk dapat menerbitkan Surat Presiden pengajuan RUU Cipta Kerja kepada DPR RI.
Tim Advokasi Untuk Demokrasi menyakini bahwa keterangan saksi fakta dari tergugat mengonfirmasi dalil Penggugat bahwa bahwa Surpres RUU Cipta Kerja diterbitkan cacat prosedur dan melanggar hukum. "Surpres sudah selayaknya dinyatakan melanggar hukum dan Presiden RI harus menarik kembali pembahasan RUU Cipta Kerja yang cacat prosedur tersebut," kata Tim Advokasi.
Tim Advokasi dalam persidangan juga meminta hakim segera menerbitkan Putusan Sela untuk menunda keberlakukan Surat Presiden tersebut mengingat publik yang tidak dapat terlibat karena Covid-19 dalam proses pembahasan yang dipaksakan berlangsung cepat di DPR bersama pemerintah. Namun, hakim belum dapat memutuskan dan akan mempertimbangkan permohonan tersebut.