REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Komisi II DPR Ahmad Doli Kurnia Tanjung menyayangkan pelibatan massa saat pendaftaran calon kepala daerah (cakada). Menurutnya, Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) telah kecolongan karena protokol Covid-19 yang tak dilaksanakan.
"Saya sebetulnya menyayangkan kemarin itu kita kecolonganlah, artinya standar-standar prosedur protokol yang dibuat oleh KPU dan Bawaslu itu banyak dilanggar," ujar Doli di Gedung Nusantara II, Komplek Parlemen, Jakarta, Senin (7/9).
Ia mengimbau Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) untuk berkoordinasi dengan aparat penegak hukum selama penyelenggaraan proses Pilkada 2020. Salah satu yang diusulkannya adalah model penegakan disiplin yang lebih ketat.
"Misalnya melibatkan aparat penegak hukum, mungkin kalau pemerintah daerah mulai dari Satpol PP. Kemudian kalau ditingkatkan lagi ya kepolisian," ujar Doli.
Sanksi perihal pelanggaran protokol Covid-19 sesungguhnya telah diatur dalam peraturan KPU (PKPU). Namun, kata Doli, sanksi yang diberikan memang tidak terlalu berat.
"Sanksinya tidak terlalu berat, karena ini juga menyangkut soal kesadaran. Orang mau sehat atau tidak," ujar Doli.
Selain itu, diperlukan juga kesadaran dari calon kepala daerah untuk menerapkan protokol pencegahan Covid-19. Untuk memberikan pemahaman kepada pendukungnya untuk tidak melibatkan massa selama penyelenggaraan Pilkada 2020.
Dalam waktu dekat, Komisi II juga akan memanggil Kementerian Dalam Negeri, KPU, dan Bawaslu untuk meminta penjelasan perihal pendaftaran calon kepala daerah. Ia menilai, penyelenggara Pilkada telah kecolongan dengan adanya mobilisasi massa tersebut.
"Itu yang harus kita coba pikirkan bersama, karena ini kan kalau kita terlalu keras terhadap paslon. Satu yang digugurkan, dampak politiknya lebih besar dan dampak sosialnya," ujar politikus Partai Golkar itu.