REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Para pelaku usaha di Indonesia saat ini dinilai memiliki kesulitan mengurus izin untuk memulai usaha. Menurut Akademisi Universitas Indonesia (UI) Ima Mayasari, Rancangan Undang Undang (RUU) Cipta Kerja hadir salah satunya untuk memperbaiki kondisi itu dan memberikan sejumlah manfaat lain bagi para pelaku usaha, khususnya di sektor Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM).
“Permasalahan pokok yang dihadapi oleh pelaku usaha dalam memulai usaha di Indonesia adalah sulitnya mengurus perizinan,” beber Ima Mayasari dalam sebuah diskusi bertajuk Peluang dan Tantangan UMKM dalam RUU Cipta Kerja, dalam keterangan persnya, Jumat (28/08) yang digelar oleh Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (LP2M) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Ima mengungkap, kesulitan yang dihadapi oleh para pelaku usaha adalah dari prosedur perizinan yang berbelit-belit, banyaknya jenis perizinan yang harus dimiliki, membutuhkan waktu yang lama untuk memproses perizinan, serta biaya yang sangat tinggi untuk memulai dan menjalankan usaha di Indonesia.
“Ketika UMKM ingin membuat perseroan terbatas (PT), maka saat ini setidaknya membutuhkan uang Rp 7,5 juta untuk membayar notaris,” sambung peraih gelar doktor hukum UI termuda ini.
Irma membandingkan regulasi saat ini terkait pendirian PT dengan RUU Cipta Kerja. RUU Cipta memberikan kemudahan bagi UMKM untuk mendirikan PT, dengan menghapuskan persyaratan modal 50 juta dan satu orang pelaku UMK saja bisa mendirikan PT.
Selain itu, dalam mendirikan PT tidak memerlukan akta notaris pendirian perusahaan, hanya membutuhkan pernyataan pernyataan perseroan yang dilakukan secara elektronik dan disahkan oleh Kementerian Hukum dan HAM
Ima mencontohkan bagaimana Selandia Baru sebagai negara peringkat teratas Eaese of Doing Business (EoDB) memudahkan pelaku usaha mengurus perizinanan yang menurutnya sangat simpel, biaya hampir nol untuk izin memulai usaha dan dari segi waktu sangat singkat tidak sampai satu hari karena dilakukan secara online.
“RUU Cipta Kerja mengarahnya ke sana. Salah satu capaian dari RUU Cipta Kerja adalah basis data tunggal. Artinya, dengan hanya memiliki Nomor Induk Berusaha (NIB) yang diproses secara online, UMKM yang resiko dampak lingkungannya rendah dapat bisa memulai kegiatan usaha,” kata dosen pasca-sarjana Fakultas Ilmu Administrasi UI.
Pendekatan RUU Cipta Kerja dalam izin berusaha adalah risk based approach (pendekatan berbasis risiko). Sedangkan selama ini pendekatannya adalah lisence based approach (pendekatan berbasis izin) yang berlapis-lapis, baik level kantor administrasinya maupun tingkat regulasinya, tanpa melihat besar-kecil kompleksitas dampaknya dan itu dipukul rata untuk semua jenis usaha.
“Perizinan usaha berbasis risiko yang menjadi pendekatan RUU Cipta Kerja ini adalah proses perizinan berusaha dan proses pengawasan berdasarkan tingkat risiko kegiatan usaha. Pendekatan ini memperkatat fungsi pengawasaan,” katanya.
Bagi Ima, transformasi pendekatan izin usaha dalam RUU Cipta Kerja ini perlu diapresiasi karena merupakan sebuah reformasi perizinan dan sebuah terobosan untuk menyesuaikan kondisi bisnis di Indonesia dengan praktik perizinan usaha di negara-negara maju.
Ima memperjelas, dalam RUU Cipta kerja, bagi UMKM yang kegiatan usahanya nyaris tanpa risiko hanya butuh registrasi NIB. Adapun bagi UMKM yang tingkat risikonya menengah perlu sertifikasi standar. Sedangkan untuk UMKM dan unit usaha besar yang risiko kegiatan usahanya tinggi diperlukan ijin AMDAL.
Menurut Ima, RUU Cipta Kerja yang bertujuan untuk penciptaan lapangan kerja yang luas itu memiliki manfaat yang banyak bagi UMKM. Selain yang sudah disampaikan di atas terkait kemudahan izin memulai usaha, juga. RUU ini juga memberikan dukungan pemberdayaan dan perlindungan UMKM berupa kemitraan, insentif dan pembiayaan bagi UMKM.
“Selain itu Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Badan Usaha Milik Desa (BUMD) memfasilitasi pembiayaan UMKM, memprioritaskan UMKM dalam pengadaan barang dan jasa, serta memfasilitasi bantuan hukum bagi UMK,” tambahnya.
Pada forum yang sama, Sekjen Forum UMKM-Industri Kecil Menengah (IKM) Tangerang Selatan Didi Purwadi menyebut dukungan RUU Cipta Kerja pada UMKM perlu disambut dengan baik dan perlu diberi penekanan lagi. Alasannya, sembilan puluh persen usaha kita itu dari sektor UMKM.
“Berdasarkan data dari Kementerian Koperasi dan UMK 2018, ada sekitar 64 juta usaha di unit UMKM. Adapun usaha di unit besar hanya lima ribuan. Itu mengapa terkait UMKM di RUU Cipta Kerja harus lebih diperkuat lagi,” katanya.
Menurut Didi, spirit RUU Cipta Kerja adalah penciptaan lapangan kerja seluas-luasnya. Seyogyanya, UMKM menjadi perhatian utama dalam RUU ini. Untuk itu ia menyoroti beberapa hal dalam RUU Cipta Kerja yang terkait dengan UMKM.
Sebagai pelaku UMKM, Didi memberi masukan agar regulasi Upah Minimum (UM) jangan diterapkan pada UMKM. Karena menurutnya, jika UM diterapkan pada UMKM akan terjadi kebangkrutan massal.
Hal lainnya yang perlu diperhatikan adalah soal penetapan kriteria dan leveling UMKM yang perlu memperhatikan variabel yang diterapkan negara lain.
“Alasannya, kompetisi pada titik tertentu bukan dengan sesama usaha dalam negeri, tapi juga dengan usah-usaha di negara lain. Pada level unit usaha yang sama, di negara lain mendapatkan keringan pajak. Sedangkan di kita tidak,” Didi mengungkapkan.