REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Nawawi Pomolango mengatakan pihaknya bisa kapan saja mengambil alih perkara dugaan suap Jaksa Pinangki Sirna Malasari. Nawawi mengatakan, saat ini lembaga antirasuah masih terus memantau dan melihat perkembangan perkara yang sedang ditangani Kejaksaan Agung (Kejakgung) tersebut.
"Supervisi dan pengambilalihan selalu melihat pada perkembangan penanganan perkara-perkara tersebut oleh instansi-instansi dimaksud, " katanya saat dikonfirmasi, Selasa (1/9).
Nawawi tidak secara tegas menyebut lembaganya akan segera mengambil perkara yang melibatkan penegak hukum tersebut. Hanya saja, Nawawi memastikan KPK selalu melakukan supervisi dengan pengawasan, penelitian dan penelaahan perkara yang tengah ditangani aparat penegak hukum lain.
"Supervisi ataupun pengambilalihan penanganan perkara adalah kewenangan yang diberikan undang-undang kepada KPK. Jadi tidak bergantung pada ada tidaknya keinginan dari instansi yang menangani perkara tersebut," tegasnya.
Nawawi menuturkan, sepenuhnya tergantung kepada KPK kapan akan memulai supervisi atau memutuskan untuk mengambil alih penanganan perkara tersebut. Karena memang telah diatur dalam UU KPK.
"Supervisi itu tugas pokok KPK pada Pasal 6 huruf d. Begitu juga pengambil alihan perkara pada Pasal 10A UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK. Jadi sepenuhnya kewenangan KPK, kapan akan supervisi atau bahkan mungkin mengambil-alih, tidak bergantung pada instansi tersebut," ujar Nawawi.
Oleh karena itu, melalui koordinasi dan supervisi, KPK bisa mengambil alih penanganan perkara jaksa Pinangki. "Dengan tugas supervisi itu meliputi pengawasan, penelitian dan penelaahan perkara yang sedang ditangani institusi lain, jadi sewaktu-waktu dapat dilakukan KPK," terang Nawawi.
Sebelumnya, JAM Pidsus Ali Mukartono menjelaskan, kewenangan supervisi KPK, ada dalam Undang-undang (UU). "Enggak bisa (kejaksaan menolak). Itu (supervisi), perintah undang-undang,” terang Ali, saat dicegat di Gedung Pidsus Kejakgung, Jakarta, Selasa (1/9).
Pasal 10 A UU KPK 19/2019 menebalkan soal kewenangan KPK, dalam melakukan super visi penanganan kasus korupsi, yang diduga dilakukan aparat penegak hukum, kejaksaan, maupun kepolisian. JAM Pidsus Ali melanjutkan, jika menjadikan beleid tersebut sebagai kewenangan, KPK, menurut dia, memang berhak mengambil alih penanganan hukum jaksa Pinangki. "Kalau itu memenuhi kriteria undang-undang, ya, itu jadi kewenangan dia (KPK)," kata Ali.
Kejaksaan, kata Ali, akan melimpahkan penanganan jaksa Pinangki, jika KPK, memutuskan untuk melakukan supervisi. "(Kejaksaan) bukan mengalah, ini bukan soal menang-kalah. Ini soal kewenangan undang-undang," ucapnya.
Dalam kasus Pinangki, ia ditetapkan sebagai tersangka terkait penerimaan suap dan gratifikasi dari Djoko. Dugaan suapnya, terungkap sementara senilai 500 ribu dolar AS atau setara RP 7,5 miliar. Pemberian uang haram tersebut, diduga terkait dengan misi membebaskan Djoko dari jerat pidana. Dikatakan, misi tersebut lewat upaya penerbitan fatwa bebas Mahkamah Agung (MA), atas vonis Djoko 2009 lalu.
Pada 2009, MA pernah memvonis penjara Djoko selama dua tahun terkait kasus korupsi pengalihan hak tagih utang Bank Bali 1999. Tapi, sebelum vonis jatuh, Djoko berhasil kabur. Setelah satu dekade dalam pelarian, akhirnya Djoko berhasil ditangkap oleh tim Bareskrim Polri di Malaysia, pada akhir Juli 2020. Sebelum penangkapan itu, skandal Djoko, pun terungkap. Djoko, dalam status buronnya, pernah keluar masuk ke Indonesia rentang Mei-Juni 2020.
Bahkan, Djoko sempat membuat KTP-El, paspor, dan dokumen lainnya untuk mengajukan Peninjauan Kembali (PK) di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan (Jaksel). Sidang PK, digelar empat kali tanpa kehadiran Djoko, yang kembali berhasil ke luar wilayah Indonesia, dalam status buronan. Selanjutnya, hasil PK di PN Jaksel, berakhir dengan keputusan majelis hakim yang tak melanjutkan pemberkasan perkaranya ke MA.
Terkait skandal tersebut, bukan cuma jaksa Pinangki yang terseret arus kasus. Penyidikan di Bareskrim Polri, juga menetapkan Irjen Napoleon Bonaparte, dan Brigjen Prasetijo Utomo sebagai tersangka. Keduanya dituding menerima uang senilai 20 ribu dolar (Rp 296 juta), terkait dengan pencabutan status buronan Djoko di interpol, saat masih buronan. Selain itu, Bareskrim Polri juga menetapkan Djoko dan kerabatnya, Tommi Sumardi sebagai tersangka pemberian suap kepada dua perwira kepolisian tersebut.
Pengacara Djoko, Anita Kolopaking, juga ditetapkan tersangka oleh Bareskrim dalam penyidikan penggunaan surat, dan dokumen palsu untuk kliennya itu. Proses penyidikan yang dilakukan tim di Bareskrim Polri, sempat menggandeng KPK dalam pengungkapan tiga klaster kasus utama skandal hukum Djoko. Dalam beberapa kali gelar perkara, Kabareskrim Komjen Listyo Sigit Prabowo, mengundang para penyidik dari KPK.