Selasa 01 Sep 2020 07:26 WIB

Bawaslu Jelaskan Tantangan Penanganan Pelanggaran Pilkada

Partisipasi masyarakat melaporkan dugaan pelanggaran diprediksi makin rendah.

Rep: Mimi Kartika/ Red: Ratna Puspita
Mural ajakan menyukseskan Pilkada 2020. Bawaslu mengantisipasi sejumlah tantangan partisipasi masyarakat dalam melaporkan pelanggaran tindak pidana pemilihan pada pilkada yang digelar selama masa pandemi Covid-19.
Foto: ANTARA/Mohamad Hamzah
Mural ajakan menyukseskan Pilkada 2020. Bawaslu mengantisipasi sejumlah tantangan partisipasi masyarakat dalam melaporkan pelanggaran tindak pidana pemilihan pada pilkada yang digelar selama masa pandemi Covid-19.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) RI, Ratna Dewi Pettalolo, menyebutkan sejumlah tantangan penanganan pelanggaran tindak pidana pemilihan yang menjadi tugas Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Sentra Gakkumdu) di masa pandemi Covid-19. Tantangan pertama, yakni partisipasi masyarakat untuk melaporkan peristiwa dugaan pelanggaran pidana diprediksi akan makin rendah akibat pandemi covid-19.

"Pilkada 2015 dan 2018 yang dilaksanakan tidak pandemik atau situasi normal itu data yang kita miliki angka laporannya jauh lebih rendah dibandingkan angka temuan yang artinya partisipasi masyarakat masih sangat rendah," ujar Ratna dalam Rapat Koordinasi Sentra Gakkumdu melalui daring di Jakarta, dikutip situs resmi Bawaslu RI, Senin (31/8).

Baca Juga

Ia menjelaskan, partisipasi masyarakat dalam melaporkan dugaan tindak pidana pelanggaran sangat dibutuhkan karena berpengaruh terhadap kualitas penanganan pelanggaran. Jika partipasi masyarakat rendah maka dikhawatirkan kualitas penanganan pelanggaran Pilkada 2020 juga rendah.

Ia menambahkan banyak dugaan tindak pidana pelanggaran yang tidak terdeteksi dan tidak dapat diproses. "Padahal dalam beberapa peristiwa dugaan pelanggaran seperti politik uang, mahar politik sering terjadi di ruang tertutup, itu sulit terdeteksi jajaran pengawas pemilu dan itu butuh partisipasi masyarakat untuk melaporkannya," kata dia.

Politik uang menjadi diprediksi bakal marak karena keadaan ekonomi yang menurun akibat pandemi juga menjadi tantangan Bawaslu menangani dugaan pelanggaran tindak pidana pilkada. "Menjadi kekhawatiran kita dengan kondisi ekonomi yang menurun, politik uang di tahun 2020 akan meningkat karena masyarakat menjadi sangat permisif terhadap politik uang," jelasnya.

Kendati demikian, kata Ratna, pengaturan politik uang dalam undang-undang tentang pemilihan umum sudah lebih baik. Sebab, subjeknya tidak terbatas orang-orang tertentu, misalnya, peserta pemilu, peserta kampanye, dan pelaksana kampanye. 

Saat ini, subjeknya disebutkan setiap orang. Hal ini lebih mudah dalam menangani dugaan penganan pelanggaran karena tidak ada pembatasan terhadap subjek.

Selanjutnya penjatuhan sanksinya pun jauh lebih besar daripada sebelumnya. Pemberi dan penerima juga tidak luput untuk diberikan sanksi. 

"Tetapi tentu melihat situasi pandemi Covid-19, kondisi ini yang kita khawatirkan akan menutup ruang partisipasi masyarakat karena kalau mereka melaporkan akan menjadi subjek yang dikenakam sangsi," ucap Ratna.

Tantangan lainnya, Ratna mengatakan, waktu penanganan pelanggaran pidana yang sangat singkat dibandingkan dengan pemilu. Bawaslu bahkan telah mengajukan gugatan uji materi ke Mahkamah Konstitusi terkait waktu penanganan pelanggaran tindak pidana, tetapi ditolak 

Ia menyebutkan tantangan berikutnya tentang pemanfaatan teknologi informasi yang belum terlalu dikenal dalam proses penanganan pelanggaran pidana. Tidak semua daerah pun juga memiliki akses jaringan yang memadai. 

Menurut Ratna, hal itu dapat membuat kesalahan dalam berkomunikasi. Apalagi dalam penanganan pelanggaran berisiko besar jika terjadi kesalahan dalam proses pemeriksaan. 

Ia juga mengkhawatirkan rendahnya partisipasi masyarakat dalam menggunakan hak pilih pada hari pemungutan suara 9 Desember 2020. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement