Senin 31 Aug 2020 12:52 WIB

Anjay, Bu Tejo, Dilarang Live Streaming

Jangan memakai kata kurang pantas seperti 'anjay', apalagi berghibah seperti Bu Tejo.

Karakter Bu Tejo dalam film Tilik
Foto:

Selain kata "Anjay", pembicaraan soal live streaming juga membanjiri timeline media sosial. Penyebab utamanya adalah gugatan dua perusahaan media, PT Visi Citra Mitra Mulia (iNews TV) dan PT Rajawali Citra Televisi Indonesia (RCTI) terhadap Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran (UU Penyiaran) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Keduanya mengajukan uji materi soal UU Penyiaran dan menilai Pasal 1 angka 2 UU Penyiaran menyebabkan perlakuan berbeda antara penyelenggara penyiaran konvensional yang menggunakan frekuensi radio dengan penyelenggara penyiaran over the top (OTT) yang menggunakan internet, seperti YouTube dan Netflix.

Akibatnya apa? Nah kalau gugatan itu dikabulkan, masyarakat baik perorangan maupun badan usaha, terancam tidak leluasa menggunakan media sosial, seperti YouTube, Instagram, Facebook, Twitter, dan kawan-kawannya untuk melakukan siaran langsung. Youtuber hingga Selebgram yang melakukan siaran langsung atau live streaming di akun media sosialnya terancam memakai baju oranye karena melakukan tindakan ilegal. Penontonnya pun terancam terseret dan menjadi pesakitan.

Duduk perkara kasus tersebut adalah saat iNews TV dan RCTI mengajukan gugatan ke MK lantaran mereka merasa dirugikan karena adanya diskriminasi dalam sejumlah hal. Misalnya, dalam melakukan kegiatan penyiaran, keduanya harus lebih dulu berbadan hukum Indonesia, hingga memperoleh izin siaran. Sementara penyelenggara siaran berbasis internet alias OTT seperti Facebook, Instagram, dan YouTube tidak perlu memenuhi persyaratan tersebut.

Baik iNews TV maupun RCTI beralasan, segala penyelenggaraan aktivitas mereka juga tunduk pada Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Penyiaran (P3SPS). Jika terjadi pelanggaran, penyelenggara terancam mendapatkan sanksi yang diberikan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Sementara hal itu tidak berlaku bagi penyedia layanan OTT.

Lantas apa respon pemerintah? Tentu saja pemerintah yang diwakili Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kemenkominfo) dalam sidang ketiga meminta MK menolak permohonan tersebut. Alasannya, jika permohonan itu dikabulkan, masyarakat akan terbelenggu alias tak bebas mengakses media sosial sebab perluasan definisi penyiaran akan mengklasifikasikan tayangan audio visual sebagai kegiatan penyiaran yang harus memiliki izin siar.

Dirjen Penyelenggaraan Pos dan Informatika (PPI) Kemenkominfo Ahmad M Ramli dalam persidangan menyatakan definisi perluasan penyiaran akan mengklasifikasikan kegiatan seperti Instagram TV, Instagram Live, Facebook Live, YouTube Live, dan penyaluran konten audio visual lainnya dalam platform media sosial akan diharuskan menjadi lembaga penyiaran yang wajib berizin. Artinya, pemerintah harus menutup akun mereka kalau tidak mengajukan izin.

Nah, jika kegiatan masuk sebagai penyiaran, perorangan, badan usaha, dan lembaga lain, termasuk kreator konten yang memanfaatkan OTT, harus memiliki izin sebagai lembaga penyiaran. Kalau tidak memiliki izin, mereka dinyatakan melakukan penyiaran ilegal dan terancam pidana. Masalahnya, penyedia layanan audio-visual umumnya melintasi batas negara, maka mustahil menerapkan hukum Indonesia di luar wilayah yurisdiksi dalam negeri.

Berangkat dari sanalah penolakan Kemenkominfo atas gugatan RCTI dan iNews TV sebenarnya wajar. Alasannya jika dilihat ada perbedaan yang sangat terang benerang antara penyiaran yang dilakukan lembaga penyiaran seperti RCTI dan iNews TV, dengan layanan OTT. Karenanya, menurut saya keliru jika memukul rata layanan penyiaran dengan layanan OTT meski konten yang dihasilkan serupa yakni audio atau audio visual.

Alasan kedua semua media komunikasi massa di Indonesia memiliki aturannya masing-masing. Layanan penyiaran diatur dalam UU Penyiaran, sedangkan OTT yang memanfaatkan internet melalui jaringan telekomunikasi, tunduk pada UU Telekomunikasi.

Dengan dua flatform yang berbeda tersebut tentu ada pengawasan yang berbeda pula. OTT saat ini yang ditransmisikan lewat sistem elektronik tunduk pada UU ITE. Jika gugatan dikabulkan seiring layanan OTT yang saat ini terus berkembang, maka bukan tidak mungkin akan menghambat laju ekonomi digital dan kreatif.

Pertanyaannya, apakah gugatan tersebut keliru? Tentu saja tidak, karena RCTI dan iNews TV memiliki hak mengembalikan kejayaan siaran televisi yang diminati masyarakat, bukan sekadar sinetron dengan cerita anak-anak sudah berpacaran, atau acara musik yang isinya perundungan dan ngeghibahin orang. Salah satu caranya dengan live streaming hanya boleh dilakukan layanan penyiaran.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement