REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ganja. Siapa tak tahu atau mengenal nama tersebut? Di Indonesia, sejak awal anak-anak memasuki bangku sekolah, nama jenis tanaman tersebut sudah diperkenalkan. Para guru memperkenalkan nama ganja sebagai benda yang harus dihindari karena bahayanya.
Akhirnya ganja populer sebagai benda atau barang yang harus dihindari. Dalam kuis atau ujian pun, siswa dengan lancar menjawab bahwa ganja adalah barang terlarang dan diharamkan pula.
Namun, popularitas ganja justru sering mendorong sejumlah oknum siswa untuk mengetahuinya dengan caranya sendiri. Yakni "coba-coba", "mencoba lagi" hingga akhirnya ketagihan.
Dalam beberapa kasus yang diungkap Kepolisian, ada oknum siswa tertangkap atau terciduk karena menghisap ganja. Pada kasus tawuran antarsiswa dan antarremaja pun tak jarang ada yang kedapatan urinenya menunjukkan positif mengonsumsinya.
Bukan hanya di kalangan pelajar, tak jarang Kepolisian mengungkap kasus penggunaan dan peredaran ganja di kalangan mahasiswa. Polres Metro Jakarta Selatan, misalnya, pernah melakukan operasi di kampus-kampus dan menemukan kasus peredaran ganja sekaligus meringkus pelakunya.
Dalam konteks penegakan hukum, setiap hari seluruh jajaran polisi di Indonesia mengungkap kasus narkoba. Salah satunya kasus peredaran ganja sebagai salah satu narkoba paling populer.
Kepolisian tak henti-hentinya melakukan penindakan. Pengungkapan kasus disertai barang bukti dari satu gram hingga ratusan kilogram, bahkan dalam skala lebih besar, yakni beberapa ton yang diangkut dengan truk.
Pengungkapan kasus-kasus narkoba khususnya ganja sering mengharuskan polisi bertarung secara keras dengan pengedar dan bandar-bandar. Kalau sudah seperti itu maka nyawa taruhannya.
Dalam beberapa kasus, bandar atau pengedar sering melakukan perlawanan saat diringkus dan berusaha sekuat tenaga menyerang balik polisi. Contoh, paling anyar, anggota Polri dianiaya saat mengungkap kasus narkoba jenis ganja di dalam botol minuman keras di kawasan Lebak Bulus, Jakarta Selatan, Rabu (12/8).
Efek Ganja
Ganja atau mariyuana adalah psikotropika yang mengandung tetrahidrokanabinol dan kanabidiol yang membuat pemakainya mengalami euforia. Ganja biasanya dibuat menjadi rokok untuk dihisap supaya efek dari zatnya bereaksi.
Tanaman semusim ini tingginya dapat mencapai sekitar dua meter. Berdaun menjari dengan bunga jantan dan betina ada di tanaman berbeda (berumah dua). Bunganya kecil-kecil dalam dompolan di ujung ranting.
Ganja hanya tumbuh di pegunungan tropis dengan ketinggian di atas 1.000 meter di atas permukaan laut (dpl). Ganja menjadi simbol budaya hippie yang pernah populer di Amerika Serikat. Hal ini biasanya dilambangkan dengan daun ganja yang berbentuk khas.
Selain itu, ganja dan opium juga didengungkan sebagai simbol perlawanan terhadap arus globalisasi yang dipaksakan negara kapitalis terhadap negara berkembang.
Beberapa negara memang melegalkan penggunaan ganja di masyarakat. Sejak 10 Desember 2013, misalnya, Uruguay melegalkan ganja untuk diperjualbelikan dan dikonsumsi di negara tersebut.
Di Indonesia hingga kini, ganja masih termasuk dalam jenis narkotika golongan I menurut Undang Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Karena itu, penggunaannya dilarang keras.
Selain ganja, jenis narkotika golongan I yang lain adalah sabu-sabu, kokain, opium dan heroin. Izin penggunaan terhadap narkotika golongan I hanya dibolehkan dalam hal-hal tertentu, terutama untuk kepentingan penelitian dan medis.
Ganja Tanaman Obat?
Namun, kabar sangat mengejutkan publik mencuat di akhir Agustus 2020, ternyata ganja sudah lama menjadi salah satu tanaman obat binaan Kementerian Pertanian RI. Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo (SYL) telah menetapkan ganja atau dengan nama latin Cannabis sativa ke dalam daftar tanaman obat komoditas binaan Kementerian Pertanian (Kementan).
Ketetapan itu tertulis dalam Keputusan Menteri Pertanian Republik Indonesia Nomor 104/KPTS/HK.140/M/2/2020 tentang Komoditas Binaan Kementerian Pertanian. Keputusan menteri (kepmen) itu ditandatangani Syahrul Yasin Limpo pada 3 Februari 2020.
Kepmen Nomor 104/KPTS/HK.140/M/2/2020 itu sudah terbit tujuh bulan lalu. Bahkan 14 tahun lalu terbit Kepmentan 511/2006 tentang Jenis Komoditi Tanaman Binaan Direktorat Jenderal Perkebunan, Direktorat Jenderal Tanaman Pangan dan Direktorat Jenderal Hortikultura.
Namun Kepmen Nomor 104/KPTS/HK.140/M/2/2020 baru ramai akhir pekan ini. Padahal 14 tahun lalu terbit Kepmentan 511/2006 yang juga menempatkan ganja sebagai salah satu tanaman obat binaan Kementan.
Mengapa publik dan pihak terkait baru meributkan sekarang? Atau mungkinkah publik tidak jeli atas isi produk hukum tersebut?
Padahal, merujuk munculnya sumber awal berita yang menghebohkan dan menggemparkan tersebut, Kepmentan 104/KPTS/HK.140/M/2/2020 itu ada di laman resmi Kementerian Pertanian. Baru diunggah di laman itu atau publik dan instansi terkait tidak tanggap serta tidak jeli terhadap substansi Kepmen tersebut?
Dalam lampiran Kepmentan 104/KPTS/HK.140/M/2/2020 yang diunduh dari laman Kementerian Pertanian di Jakarta, Sabtu (29/8), ganja tercantum pada nomor 12 di daftar tanaman obat di bawah binaan Direktorat Jenderal Hortikultura Kementan.
Diktum pertama dalam Kepmen Komoditas Binaan tersebut disebutkan bahwa komoditas binaan Kementerian Pertanian meliputi komoditas binaan Direktorat Jenderal: a. Tanaman Pangan; b. Hortikultura; c. Perkebunan dan d. Peternakan dan Kesehatan Hewan. Kedua, disebutkan bahwa komoditas binaan sebagaimana dimaksud dalam diktum kesatu dan produk turunannya dibina oleh direktorat jenderal masing-masing sesuai dengan kewenangannya.
Pada diktum kelima, tertulis direktur jenderal dalam menetapkan komoditas binaan dan produk turunannya sebagaimana dimaksud dalam diktum keempat harus berkoordinasi dengan Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, direktorat jenderal teknis lingkup Kementerian Pertanian, pakar/perguruan tinggi dan kementerian/lembaga.
Ada 66 komoditas yang tercantum dalam daftar tanaman obat di bawah binaan Ditjen Hortikultura. Selain ganja, jenis tanaman obat lainnya, antara lain, akar kucing, mahkota dewa, tapkliman, senggugu hingga brotowali.
Dalam keterangan tertulis menyikapi reaksi publik, Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo menyatakan konsisten dan berkomitmen mendukung pemberantasan penyalahgunaan narkoba. Kepmentan 104/2020 tersebut sementara dicabut untuk dikaji kembali. Kemudian segera dilakukan revisi setelah berkoordinasi dengan pihak terkait (BNN, Kemenkes dan LIPI).
“Pada prinsipnya Kementan memberikan ijin usaha budidaya pada tanaman sebagaimana dimaksud pada Kepmentan 104/2020, namun dengan tetap memperhatikan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan,” ujar Direktur Sayuran dan Tanaman Obat Kementan Tommy Nugraha dalam keterangan, Sabtu (29/8).
Pada 2006, Tommy mengatakan pembinaan yang dilakukan adalah mengalihkan petani ganja untuk bertanam jenis tanaman produktif lainnya, dan memusnahkan tanaman ganja yang ada saat itu. Pengaturan ganja sebagai kelompok komoditas tanaman obat, hanya bagi tanaman ganja yang ditanam untuk kepentingan pelayanan medis dan atau ilmu pengetahuan, dan secara legal dalam Undang-undang (UU) Narkotika.
Tommy mengatakan saat ini belum dijumpai satu pun petani ganja yang menjadi petani legal yang menjadi binaan Kementan. Penyalahgunaan tanaman menjadi bagian tersendiri dan terdapat ketentuan terkait dalam Undang-Undang No 13 Tahun 2010 tentang Hortikultura, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 67 Ayat 1 yakni budidaya jenis tanaman hortikultura yang merugikan kesehatan masyarakat dapat dilakukan untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan atau ilmu pengetahuan, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang.
Keputusan menempatkan ganja sebagai salah satu komoditas obat binaan memang menyentuh sensitivitas tinggi karena bisa dianggap melegalisasi penanaman dan pemakaiannya secara luas. Namun mencabut aturan itu adalah langkah tepat dan bijak guna mengakhiri perdebatan di masyarakat yang sedang menghadapi wabah virus corona (Covid-19).