Sabtu 22 Aug 2020 06:15 WIB

Influencer Rp 90,45 M, Investigasi ICW dan Penjelasan KSP

Anggaran belanja untuk influencer oleh pemerintah semakin marak sejak 2017.

Buzzer dan Influencer di media sosial
Foto: growglowgo.wordpress.com
Buzzer dan Influencer di media sosial

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Rizkyan Adiyudha, Dessy Suciati Saputri

Penelusuran Indonesian Corruption Watch (ICW) terhadap situs Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE) sejumlah kementerian dan lembaga menghasilkan kesimpulan bahwa, pemerintah telah menghabiskan dana Rp 90,45 miliar untuk belanja jasa influencer. Dana puluhan miliar rupiah itu digunakan pemerintah pusat mulai dari 2017 hingga 2020.

Baca Juga

Angka Rp 90,45 miliar tersebut didapat dari hasil pengumpulan data oleh ICW dilakukan pada 14 hingga 18 Agustus 2020 menggunakan kata kunci media sosial atau social media, influencer, key opinion leader, komunikasi dan Youtube.

"Terdapat 34 Kementerian, lima LPNK, dan dua lembaga penegak hukum yakni, Kejaksaan RI dan Kepolisian RI," kata peneliti ICW Egi Primayogha di Jakarta, Kamis (20/8).

Penelusuran ICW mengutakamakan kata kunci influencer dan key opinion leader. Berdasarkan penulusuran dengan dua kata kunci tersebut, ditemukan 40 paket pengadaan dengan jumlah anggaran belanja mencapai Rp 90,45 miliar. Egy mengatakan, anggaran belanja untuk influencer semakin marak sejak 2017.

Hasil penelusuran mendapati bahwa ada lima jumlah paket pengadaan pada 2017 dengan total nilai Rp 17,68 miliar. Gelontoran anggaran belanja serupa meningkat signifikan satu tahun berselang mencapai Rp 56,55 miliar untuk total 15 paket pengadaan.

Egi melanjutkan, angka tersebut kemudian menciut pada 2019 menjadi Rp 6,67 miliar dengan jumlah 13 paket pengadaan. Pada 2020 hingga saat ini pemerintah baru membuat tujuh paket pengadaan dengan total belanja mencapai Rp 9,53 miliar.

Dari total Rp 90,45 miliar, Kementerian Pariwisata (Kemenpar) diketahui menjadi lembaga negara terbanyak yang melakukan belanja jasa influencer. Sedikitnya, ada 22 paket pengadaan dengan total belanja mencapai Rp 77,66 miliar.

Kementrian selanjutnya adalah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dengan 12 paket pengadaan dengan total belanja Rp 1,6 miliar. Diikuti oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika dengan empat pengadaan senilai Rp 10,83 miliar, Kementerian Perhubungan ada satu pengadaan senilai Rp 195,8 juta dan Kementerian Pemuda dan Olahraga dengan satu pengadaan senilai Rp 150 juta.

Secara keseluruhan, total anggaran belanja pemerintah pusat dalam hal aktivitas digital sebesar Rp 1,29 triliun. Nominal itu dibelanjakan mulai dari 2014 hingga 2020 ini.

Egi menilai, gelontoran anggaran publik jumlah besar terkait aktivitas digital artinya Presiden Jokowi tidak percaya diri dengan program-programnya. Dia melanjutkan, itu sebabnya dia harus menggelontorokan anggaran untuk influencer.

"Apabila kita hendak menelusuri sumber-sumber lainnya seperti dokumen anggaran publik atau memperluas cakupan pantauan ke pemerintah daerah, tidak tertutup kemungkinan jumlah yang ditemukan lebih besar dari Rp 1,29 triliun," katanya.

Pada saat yang bersamaan, dia meminta pemerintah agar transparan dari segi alokadi dan penggunaan anggaran. Egi menegaskan, bahwa publik berhak tahu mana saja kebijakan yang disosialisasikan menggunakan influencer.

Egi mengatakan, publik juga berhak tahu bagaimana pemerintah menentukan, bahwa suatu isu memerlukan bantuan influencer serta bagaimana pemerintah menentukan individu yang layak dijadikan influencer.

Egi juga mempertanyakan peran instansi kehumasan yang dimiliki pemerintah dengan maraknya penggunaan jasa influencer tersebut. Dia menilai bahwa tren penggunaan influencer dapat membawa pemerintah pada kebiasaan mengambil jalan pintas, misalnya guna memuluskan sebuah kebijakan publik yang tengah disusun, maka pemerintah menggunakan jasa influencer untuk memengaruhi opini publik.

"Hal ini tidak sehat dalam demokrasi karena berpotensi mengaburkan substansi kebijakan yang tengah disusun dan kemudian berakibat pada tertutupnya ruang percakapan publik," katanya.

Kantor Staf Presiden (KSP) menilai langkah pemerintah untuk menggandeng influencer dalam menyosialisasikan program, sah-sah saja. Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Kepresidenan Donny Gahral Adian menjelaskan, sejak awal pemerintah memang memanfaatkan berbagai jalur komunikasi yang efektif agar program dan kebijakan bisa dipahami oleh masyarakat.

"Influencer adalah mereka yang punya massa, punya pengikut, punya pendengar. Apa yang mereka sampaikan pasti didengar orang banyak. Sehingga dipanggil supaya bisa terhindar dari hoaks, fitnah, dari pembunuhan karakter, menggunakan sosial media secara positif," ujar Donny, Jumat (21/8).

Donny menambahkan, program kerja pemerintah memang harus dikabarkan hingga ke pelosok dan desa-desa. Salah satu pihak yang bisa menjangkau semua kalangan, menurut Donny, adalah influencer dengan jejaring pengikutnya yang luas. Apalagi, ujarnya, 40 persen populasi Indonesia masuk dalam golongan milenial yang dianggap melek teknologi.

"Jadi saya kira bukan (pemerintah) tidak percaya diri tapi jangkauannya lebih luas, terutama di kalangan milennial. Sehingga program-program itu bisa dipahami. Misalnya, bansos, orang kan tidak tahu bagaimana melakukan bansos, daftar ke mana, prosedurnya seperti apa," katanya.

Donny pun menekankan bahwa menggunakan jasa influencer untuk sosialisasi program pemerintah tak masalah, sepanjang kebijakannya memang bermanfaat.

"Saya tidak melihat salahnya di mana. Kecuali influencer digunakan untuk menyampaikan kebohongan. Kalau untuk menyampaikan kebenaran, why not?" katanya.

photo
Belanja Influencer Pemerintah - (Republika)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement