REPUBLIKA.CO.ID, oleh Antara, Dessy Suciatai Saputri, Ali Mansur
Penabuh drum grup band punk, Superman Is Dead (SID), I Gede Ari Astina alias Jerinx ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan pencemaran nama baik Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Bali dan ujaran kebencian. Jerinx juga langsung ditahan di rutan Polda Bali, pada Rabu (12/8).
"Iya sudah ditetapkan sebagai tersangka, sudah kami periksa hari ini dan dia hadir. Sudah kami tahan juga hari ini di rutan Polda Bali," kata Dirreskrimsus Polda Bali Komisaris Besar Polisi Yuliar Kus Nugrohosaat dihubungi melalui telepon di Denpasar, Rabu (12/8).
Yuliar menerangkan, dasar penetapan Jerinx sebagai tersangka dilakukan berdasarkan alat bukti yang cukup, ada keterangan saksi, ahli, dan kesesuaian antara keterangan semuanya termasuk barang buktinya.
"Bahwa itu terpenuhi unsur delik membuat pencemaran nama baik, penghinaan dan menimbulkan suatu permusuhan kepada IDI, sesuai dengan UU ITE," kata Yuliar.
Dalam perkara ini, pasal yang disangkakan yaitu Pasal 28 ayat (2) jo Pasal 45A ayat (2) dan/atau Pasal 27 ayat (3) jo Pasal 45 ayat (3) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik dan/atau pasal 310 KUHP dan atau Pasal 311 KUHP, sesuai dengan Laporan Polisi No. LP/263/VI/2020/Bali/SPKT, tanggal 16 Juni 2020. Dengan ancaman hukuman enam tahun penjara dan denda Rp1 miliar.
Sebelumnya, pada (6/8) penyidik Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Ditreskrimsus) Polda Bali telah melakukan pemeriksaan terhadap Jerinx, dengan memberikan 13 pertanyaan. Dari hasil pemeriksaan Jerinx yang berlangsung selama kurang lebih dua jam tersebut diperoleh tiga catatan mendasar.
Pertama, dari hasil keterangan, Jerinx memang yang memuat unggahan itu. Kedua, dari unggahan itu, Jerinx menggugah IDI selaku organisasi profesional untuk mengambil tindakan atas ketidakadilan terhadap rakyat, rapid test sebagai syarat layanan ke RS. Ketiga, terkait dengan beberapa unggahan yang cukup banyak pada 16 Juni 2020.
"Jauh sebelum saya menulis postingan pada 13 Juni 2020 itu, mungkin beberapa minggu sebelumnya, saya baca berita rakyat menengah ke bawah dipersulit oleh prosedur rapid, sampai ada yang meninggal dan tidak ditangani dengan serius. Itu akumulasi perasaan empati saya dan kasihan kepada rakyat yang dipersulit gara-gara prosedur rapid," kata Jerinx di Polda Bali, Kamis (6/8).
Juru Bicara Satgas Percepatan Penanganan Covid-19 Wiku Adisasmito meminta para influencer yang memiliki banyak pengikut agar berhati-hati dalam menyampaikan informasi. Ia menegaskan, informasi atau berita yang akan dibagikan influencer harus dipastikan kebenaran dan sumbernya terlebih dahulu.
"Untuk masyarakat yang memiliki penggemar, mohon benar-benar dapat sampaikan berita yang baik dan bersumber dari sumber valid dari para ahlinya sehingga dapat memberikan pemahaman kepada penggemar sehingga dapat sama-sama memahami," jelas Wiku menanggapi kasus Jerinx, Kamis (13/8).
Wiku pun kemudian menekankan perlunya gotong royong seluruh masyarakat untuk menghadapi pandemi Covid-19 saat ini.
"Mengenai penegakan hukum, kembali lagi kita perlu gotong royong. Kita perlu ketenangan sehingga masyarakat waspada dan maju ke depan dalam hadapi Covid-19," jelas dia.
Pemerintah, lanjutnya, berharap agar masyarakat bersatu melawan Covid-19 dan krisis yang tengah terjadi.
"Pemerintah sangat mengharapkan dalam menghadapi covid ini bisa bersatu dan kami percaya bahwa semua pihak menyadari bahwa ini adalah lawan kita bersama," lanjut dia.
Dinilai dipaksakan
Direktur Eksekutif ICJR, Erasmus A. T. Napitupulu dalam siaran persnya, Kamis (13/8), menilai, penahanan terhadap Jerinx tidaklah perlu untuk dilakukan dan cenderung dipaksakan. Adapun pernyataan Jerinx terhadap penanganan Covid-19 yang kontraproduktif, menurut Erasmus, perlu menjadi pemicu untuk menghadirkan diskursus publik yang lebih sehat.
Menurut Erasmus, penggunaan Pasal 28 ayat (2) untuk menjerat Jerinx atas postingan yang dibuatnya jelas tidaklah tepat dan menyalahi makna dari ketentuan tersebut. Ketentuan tersebut pada dasarnya hanya dapat digunakan untuk menjerat ekspresi-ekspresi yang termasuk ke dalam kategori incitement to hatred, violence, discriminate atau penghasutan untuk melakukan suatu tindakan kebencian atau kekerasan, diskriminasi berdasarkan SARA.
Erasmus, melanjutkan, elemen penting dalam ketentuan itu yakni “menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA)”. Niat menjadi satu komponen yang paling penting untuk membedakan antara ekspresi yang sah (legitimate expression) dengan ekspresi yang termasuk ke dalam ujaran kebencian.
"Ekspresi yang disampaikan oleh Jerinx di dalam postingan Instagram-nya tersebut, yang merujuk kepada IDI sebagai “kacung WHO” sangat jauh untuk dapat dikatakan memenuhi unsur ini," ungkapnya.
Lebih jauh, kata Erasmus, untuk dapat mengetahui apakah sebuah ekspresi masuk kualifikasi sebagai penyebaran ujaran kebencian, terlebih dahulu harus dilihat konteks di dalam ekspresi. Juga dilihat posisi dan status individu yang menyampaikan ekspresi tersebut dan niat dari penyampaian ekspresi untuk mengadvokasikan kebencian dan menghasut.
Kemudian, juga dilihat kekuatan muatan dari ekspresi, jangkauan dan dampak dari ekspresi terhadap audiens; dan kemungkinan dan potensi bahaya yang mengancam atas disampaikan ekspresi.
"Rentannya penyalahgunaan pasal incitement to hatred ini, mengharuskan aparat penegak hukum untuk lebih berhati-hati dalam menilai suatu ekspresi memiliki muatan bahaya (harmful) serius, sehingga dapat dipidana. Sedangkan dalam peristiwa ini, kualifikasi bahaya tersebut belum terpenuhi," terangnya.
Atas penangkapan dan penetapan Jerinx sebagai tersangka ini, Erasmus, mengingatkan kembali agar aparat penegak hukum berhati-hati dalam menerapkan UU ITE. ICJR menilai, pasal-pasal yang digunakan untuk menjerat Jerinx ini jelaslah tidak sesuai dengan maksud pembentukannya dan terlihat sangat dipaksakan hanya untuk memenuhi sentimen punitif dari masyarakat.
"Tidak hanya itu, penahanan yang dilakukan terhadap Jerinx oleh Kepolisian bukanlah langkah yang tepat untuk diambil, terlebih di masa pandemi Covid-19 ini," tegas Erasmus.