Rabu 19 Aug 2020 00:20 WIB

Pakar Ingatkan KAMI Mengkritik Secara Konstitusional

KAMI diminta tidak bersifat tendensius dan objektif.

Tugu Proklamasi.  Sejumlah tokoh nasional mendeklarasikan Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) di Tugu Proklamasi, Jakarta Pusat, Selasa (18/8).
Foto: Antara/Aprillio Akbar
Tugu Proklamasi. Sejumlah tokoh nasional mendeklarasikan Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) di Tugu Proklamasi, Jakarta Pusat, Selasa (18/8).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar hukum pidana dari Universitas Indonesia (UI) Indriyanto Seno Adji mengingatkan agar Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) yang digagas oleh sejumlah tokoh, termasuk Din Syamsuddin agar bersikap konstitusional saat menyampaikan kritikan kepada pemerintah.

"KAMI sebaiknya bersikap secara konstitusional, karena pernyataan kebebasan berpendapat secara politik tidak pernah bersifat absolut tanpa batas. Dalam kehidupan bernegara ada limitasi-limitasi regulasi dan doktrin hukum yang memberikan pagar politik dan hukum secara implementatif. Jangan sampai ada destruksi rambu-rambu untuk melanggar hukum," kata Indriyanto dalam keterangan tertulisnya, di Jakarta, Selasa (18/8).

Baca Juga

Menurut dia, setiap warga negara memiliki kebebasan untuk menyampaikan pendapat. Termasuk memberikan kritikan terhadap pemerintahan.

Namun, lanjut dia, jika kritikan tersebut seperti yang dilakukan KAMI bersifat tendensius dan tidak objektif, maka bisa mengarah kepada bentuk pelanggaran hukum.

"Sebatas pemberitaan viral di media sosial masih dalam tataran kritik/pernyataan terhadap kebijakan maupun keputusan pemerintah, itu dijamin oleh konstitusi dalam kerangka kebebasan berpendapat dan belum bisa dikategorikan pemberitaan provokatif," tuturnya.

Namun, kata Indriyanto, apabila KAMI melakukan kritik/pernyataan terhadap kebijakan maupun keputusan pemerintah atau pernyataan yang tendensius dan tidak objektif, maka hal itu bisa disebut sebagai bentuk penghinaan formil. Dia mencontohkan kritik/pernyataan yang dimaksud, antara lain tuduhan Presiden Joko Widodo (Jokowi) melanggar konstitusi dengan melanggar politik bebas aktif, pemerintah melakukan pembiaran dengan masuknya militer Tiongkok dengan alasan tenaga kerja asing (TKA), dan tudingan munculnya PKI gaya baru yang dibiarkan pemerintah.

Contoh lain terkait dengan pendapat-pendapat yang membungkus seolah kebebasan berpendapat sebagai jaminan konstitusi, yang puncaknya adalah provokasi penggantian pucuk pimpinan negara dilakukan dengan cara-cara sebagai kritik/pernyataan yang tegas dan jelas jalannya kasar, tidak objektif, tidak sopan, tidak konstruktif, dan tidak zakelijk sifatnya.

"Sehingga, ini membawa orang tersebut dalam apa yang kemudian disebut sebagai kebencian (hatred), ejekan/cemoohan (ridicule), atau penghinaan (contempt). Maka, kritik/pernyataan seperti itu menjadi bentuk penghinaan formil yang strafbaar sifatnya. Jadi, haruslah dibedakan antara kritik/pernyataan dalam konteks kebebasan berpendapat dengan penghinaan formil yang melanggar hukum," ujar Indriyanto.

Selain itu, pernyataan-pernyataan seperti itu bisa mengarah kepada makar dengan ukuran objektif. Karena, tambah dia, sebagaimana dikatakan Prof Eddy OS Hiariej bahwa niat (voornemen) dan permulaan pelaksanaan (begin van uitvoering) yang sudah mendekati delik yang dituju (voluntas reputabitur pro facto) adalah cara-cara inkonstitusional yang menghendaki (niat) perlawanan terhadap pemerintahan yang sah sebagai pemenuhan unsur delik makar Pasal 107 KUHPidana.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement