Selasa 18 Aug 2020 11:10 WIB

Memastikan Validitas Obat Covid-19 Racikan Unair

Muncul dugaan riset obat Covid-19 Unair belum dipublikasikan sesuai standar dunia.

Warga melintas di depan mural Lawan Corona di Jalan Wonokromo, Surabaya, Jawa Timur. Tim peneliti di kampus Unair mengklaim telah memiliki obat Covid-19. Obat dibuat Unair bersama BIN, TNI AD, dan BPOM.
Foto: ANTARA/Moch Asim
Warga melintas di depan mural Lawan Corona di Jalan Wonokromo, Surabaya, Jawa Timur. Tim peneliti di kampus Unair mengklaim telah memiliki obat Covid-19. Obat dibuat Unair bersama BIN, TNI AD, dan BPOM.

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Rr Laeny Sulistyawati, Idealisa Masyrafina, Puti Almas

Obat Covid-19 pertama di dunia disebut sedang dirumuskan oleh peneliti dari Universitas Airlangga (Unair) di Surabaya, Jatim. Obat Covid-19 itu dibuat Unair lewat kerja samanya dengan Badan Intelijen Negara (BIN), TNI AD, dan BPOM.

Baca Juga

Obat Covid-19 yang ditemukan merupakan campuran dari berbagai macam obat tunggal yang telah diberikan kepada pasien Covid-19 di berbagai belahan dunia. Kesimpulannya, terdapat tiga kombinasi obat yang ditemukan Unair dan telah melaksanakan uji klinis. Pertama yaitu Lopinavir/Ritonavir dan Azithromycin. Kedua, Lopinavir/Ritonavir dan Doxycycline. Ketiga, Hydrochloroquine dan Azithromyci. Efektivitas kombinasi obat tersebut disebut mencapai 98 persen.

 

Ahli Epidemologi dari Universitas Indonesia (UI), Pandu Riono, meragukan validitas obat Covid-19 hasil penelitian Unair. Pasalnya, penelitian itu telah melanggar sejumlah prosedur.

 

Pandu menduga, hasil penelitian tim riset Unair itu belum diulas oleh dunia akademis sesuai standar yang berlaku. Sehingga patut diduga, laporan risetnya belum sesuai kaidah standar laporan ilmiah untuk uji klinis.

Padahal, kata Pandu, ada persyaratan uji klinis obat yang sesuai standar yang ditetapkan secara internasional, dan harus diregistrasi uji klinis Badan Kesehatan Dunia (WHO). Namun, ia mengecek obat kombinasi Covid-19 buatan Unair dan BIN ini belum diregistrasi uji klinis organisasi kesehatan dunia (WHO).

“Biasanya setiap uji klinis harus diregistrasi secara internasional, dan protokol harus bisa diakses oleh dunia akademis. Hasil cek uji klinis, Unair belum pernah diregistrasi pada laman https://www.isrctn.com/,  https://www.who.int/ictrp/en/,” kata Pandu seperti dalam keterangan tertulis yang diterima Republika, Selasa (18/8).

Dosen Fakultas Kesehatan Masyarakat UI itu mengingatkan seharusnya tim Unair ikut prosedur yang terbuka, dan dilaporkan hasilnya dalam pertemuan akademis yang memahami prosedur uji klinik. Pasalnya, semua harus mengedepankan aspek transparan. Dikatakan Pandu, selama tahapan riset harus dipantau oleh tim clinical monitoring  yang independen. Selain itu, secara administratif dan transparansi mesti ada independent clinical monitor, Data Safety Monitorign Board (DSMB) minimal tuga orang, meliputi masing-masing satu ahli farmakologi, biostatistik, dan ahli penyakit yang diteliti.

“Dan harus terdaftar di International Clinical Trial Registry, bisa di WHO atau registry lainnya,” ujarnya.

Pandu menambahkan, tim clinical monitor dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dan kelompok independen yang evaluasi data uji klinik sehari-hari. Clinical monitor melapor ke peneliti jika ada kesalahan prosedur untuk perbaikan. Laporannya juga ke DSMB.

“Kesalahan prosedur yang saya duga ada yaitu memasukkan orang tanpa gejala dalam subyek riset, karena ambil kasus di rumah susun isolasi di Lamongan dan Secapa. Bukan hanya yang di rumah sakit, yang benar-benar butuh pengobatan,” katanya.

Pandu juga mengingatkan agar setiap ada perubahan protokol riset harus dilaporkan dan direview oleh Komite Etik Penelitian yang independen dan disetujui oleh BPOM. Komite Etik yang independen, Pandu melanjutkan, sebaiknya dari Balitbangkes Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dan beberapa pakar dari luar Unair sendiri.

Kendati demikian, Pandu sedari awal sudah meragukan riset tersebut yang terkesan ingin mencari jalan pintas dengan mengabaikan prosedur ilmiah dan didiskusikan masyarakat ilmiah atas nama kedaruratan. “Padahal organisasi kesehatan dunia (WHO) mensponsori solidarity multi country clinical trials mengikuti semua prosedur,” ujar Pandu.

Oleh karena itu, Pandu berharap agar lembaga otoritas Badan Pengawas Obat Makanan (BPOM) bersikap tegas, apabila belum memenuhi syarat tersebut, BPOM bisa menolak pengajuan izin edar dan produksi obat kombinasi Covid-19. Selain itu, Pandu menilai seharusnya laporan riset obat kombinasi itu dilaporkan Unair ke BPOM terlebih dahulu. Bukan ke TNI atau BIN sebagai sponsornya. Dan langsung mengumumkan ke publik secara terbuka bahwa penelitian mereka berhasil dan memberikan klaim sebagai penemuan obat Covid-19 pertama di dunia. Hal ini, menurut Pandu, tidak sesuai dengan prosedur.

“Ya ini uji klinik pertama obat Covid-19 di dunia yang anomali, dan prosedur riset yang tak terbuka dan klaimnya tidak mengikuti standar uji klinik yang baku. Itu sebabnya akan banyak akademis yang meragukan validitas hasil riset uji klinis Unair tersebut,” ujarnya.

Senada dengan Pandu, akademisi dan praktisi klinis Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) Prof. Ari F Syahrial mengatakan uji klinis obat harus sampai pada tahap publikasi internasional. Prof Ari menjelaskan, setelah suatu uji klinik baru selesai, uji coba berikutnya adalah memasukkannya ke kongres dunia. Dari sana, hasil penelitian akan dipublikasi di jurnal internasional untuk mendapatkan  pengakuan bahwa uji klinik tersebut valid dan bisa masuk guideline dan protokol pengobatan baru.

"Walau ini pun juga tidak otomatis karena akan melihat apakah hasil ini konsisten dengan penelitian lain di luar negeri," jelas Prof Ari, Selasa (18/8).

Dia mencontohkan, salah satu uji klinik obat yang pernah UI lakukan dengan menggunakan kombinasi obat yakni pada penanganan pasien dengan infeksi kuman H pylori. Uji klinik dilakukan secara Double-Blinded Randomized Clinical Trial, artinya peneliti dan pasien tidak tahu obat yang diberikan.

"Kami ingin melihat apakah pemanjangan lama pemberian obat kombinasi 3 macam obat Amoksisilin, Claritromisin dan Rabeprazole akan lebih efektif yaitu jika diberikan lebih panjang menjadi 14 hari di mana sebelumnya 10 hari," jelasnya.

Penelitian ini, kata Prof Ari, lolos etik Komite Etik Kesehatan FKUI-RSCM yang sudah berstandar internasional. Riset ini didaftarkan ke clinicaltrial.gov, yang menurutnya mendaftarkan uji klinik ke website saat ini menjadi seperti kewajiban saat submit ke jurnal internasional.

Setelah penelitian ini hasil penelitian ini  disubmit ke kongres internasional untuk mendapat tambahan masukan dan review. "Baru setelah itu hasil penelitian dipublikasi dan dengan proses review yang panjang akhirnya artikel tersebut bisa publikasi di Asian Pac J Cancer Prev. 2020;21(1):19-24. Jurnal bereputasi internasional Q2, Published 2020 Jan 1. doi:10.31557/APJCP.2020.21.1.19," jelasnya.

Ketua Satuan Tugas (Satgas) Covid-19 Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Zubairi Djoerban turut menanggapi klaim temuan obat Covid-19 Unair. Zubairi mengatakan, Hydroxychloroquine merupakan obat yang resisten terhadap malaria dan ternyata efektif untuk beberapa penyakit lainnya, seperti lupus. Sebelumnya, Chloroquine juga diduga bermanfaat untuk mengobati SARS (sindrom pernapasan akut parah) yang pernah menjadi wabah pada 2002 hingga 2004.

“Sehingga dari sana banyak sekali negara memakai Hydroxychloroquine untuk pengobatan Covid-19. Tetapi, semakin lama diketahui banyak pasien dengan gejala ringan dan dapat sembuh sendiri, khususnya OTG (orang tanpa gejala),” ujar Zubair.

Dari sana, sejumlah penelitian lebih lanjut dilakukan terhadap Hydroxychloroquine dan ditemukan adanya efek samping berbahaya dari penggunaan obat, yaitu pengaruh pada irama jantung. Zubairi mengatakan penelitian dalam skala besar dilakukan oleh Oxford University di Inggris yang melihat bahwa ternyata angka kematian dari penggunaan ini menjadi lebih tinggi.

WHO juga telah menyarankan agar penggunaan Chloroquine dihentikan. Zubairi mengungkapkan salah satu penelitian menunjukkan setelah pemberian obat selama 28 hari, sebanyak 25,7 persen pasien yang menerima Hydroxychloroquine meninggal dunia, di mana persentase ini lebih banyak dibanding 23,5 persen pasien yang meninggal dunia saat menerima perawatan biasa.

Karena itu, terkait penemuan kombinasi obat dari tim Unair yang salah satunya menyertakan Hydroxychloroquine, Zubairi mengatakan hal ini bisa berdampak baik dan bermanfaat jika disertakan dengan bukti yang dinilai oleh tim internasional. Pembuktian akan efektivitas obat juga kemudian dirilis di jurnal kedokteran internasional, sehingga ini akan menjadi terobosan bagi dunia.

“Sangat bagus jika ini dinilai oleh tim internasional dan kalau terbukti baik, ini bisa diusulkan terbit di jurnal kedokteran internasional, karena jika tidak maka masih akan jadi tanda tanya besar,” jelas Zubairi.

Sebelumnya, Rektor Unair Nasih menjelaskan penelitian yang dilakukan Tim universitas tersebur kombinasi dari berbagai macam obat untuk atasid Covid-19. Namun oleh BPOM dianggap sebagai sesuatu yang baru.

Untuk mempercepat proses rilis kombinasi obat tersebut, Nasih meminta TNI, Polri, BIN, IDI, Ikatan Apoteker Indonesia, Kimia Farma, serta Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional, bahu membahu dan membuang ego sektoral masing-masing. Sehingga, temuan tersebut bisa dikembangkan dan manfaatnya dapat dirasakan masyarakat.

Nasih menjelaskan, obat yang ditemukan merupakan campuran dari berbagai macam obat tunggal yang telah diberikan kepada pasien Covid-19 di berbagai belahan dunia. Kesimpulannya, terdapat tiga kombinasi obat yang ditemukan Unair dan telah melaksanakan uji klinis. Pertama yaitu Lopinavir/Ritonavir dan Azithromycin. Kedua, Lopinavir/Ritonavir dan Doxycycline. Ketiga, Hydrochloroquine dan Azithromyci.

Dalam melaksanakan uji klinis obat kombinasi tersebut, diakuinya tim Unair tidak hanya melakukan pada satu pihak dan satu tempat saja. Nasih menegaskan, tim Unair mekakukan uji klinis pada 13 pusat penelitian di Indonesia, dan masing-masing tempat dikoordinasi oleh salah seorang dokter profesional.

photo
Relawan Vaksin Covid-19 - (Republika)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement