Kamis 13 Aug 2020 06:30 WIB

DPR: Tak Ada Calon Tunggal Jika Legislator Boleh Cuti

Hampir semua anggota DPR menolak syarat legislator mundur untuk maju pilkada.

Anggota Komisi III DPR Arteria Dahlan
Foto: Republika/Nawir Arsyad Akbar
Anggota Komisi III DPR Arteria Dahlan

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Komisi III DPR RI Arteria Dahlan mengklaim tidak akan ada calon tunggal dalam pilkada apabila legislator tidak diwajibkan untuk mengundurkan diri saat berkompetisi dalam pilkada. "Seandainya anggota DPR boleh cuti, dipastikan tidak ada calon tunggal dalam pilkada yang ada di republik ini," ujar Arteria Dahlan yang mewakili DPR dalam sidang uji materi UU Pilkada di Gedung Mahkamah Konstitusi, Rabu (12/8).

Ia berpendapat Pasal 7 ayat (2) huruf s Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 terkait pilkada mensyaratkan pengunduran diri anggota legislatif sejak ditetapkan sebagai calon kepala daerah. Berlakunya pasal itu berdampak pada minimnya peserta yang mengikuti kontestasi pilkada. 

Baca Juga

Padahal, dia menyebutkan, calon tunggal yang diusung partai politik mengancam kualitas pilkada dan mencerminkan adanya kemunduran dalam pelaksanaan demokrasi. 

Selain persoalan calon tunggal, Arteria Dahlan mengatakan norma dalam pasal tersebut menyebabkan anggota legislatif tidak dapat menjalankan tugas dan kewajiban selama lima tahun. Sebab, anggota legislatif diganti dengan mekanisme pergantian antarwaktu setelah mengundurkan diri untuk mengikuti pilkada.

"Anggota DPR, DPD, DPRD seharusnya mendapatkan perlakuan yang sama dengan kepala daerah, yakni menjalankan tugas dan wewenangnya dan kewajibannya selama 5 tahun dan tidak boleh dikurangi 1 detik pun," ucap Arteria Dahlan.

Menurut Arteria, hampir semua anggota DPR menolak syarat legislator harus mundur untuk maju dalam pilkada saat pembahasan Undang-Undang Pilkada. Namun, anggota DPR terpaksa menyetujui keinginan pemerintah.

Arteria mengaku terlibat dalam pembahasan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota Menjadi Undang-Undang (UU Pilkada). Menurut dia, awalnya hampir semua fraksi sepakat bahwa DPR, DPRD dan DPD tidak harus mengundurkan diri saat ditetapkan sebagai calon kepala daerah.

Namun, ia menyebutkan, pemerintah saat itu khawatir dengan isu korupsi. Beberapa partai politik pun takut karena sejumlah menteri memiliki kepentingan yang tersandera sehingga pembahasan berakhir dengan kesepakatan.

"Pasal ketentuan mundurnya anggota DPR ini, itu dari awal sampai mau diputusnya undang-undang itu, masih alot terus sampai akhirnya kami dipaksa karena fraksi diperintahkan untuk ikuti yang ada di pemerintah, tapi suasana kebatinannya, semuanya ini adalah menolak," kata Arteria Dahlan.

Ia pun merasa keberatan saat pemerintah memberikan keterangan dalam sidang sebelumnya dengan mengutip sejumlah putusan Mahkamah Konstitusi terkait syarat pencalonan kepala daerah. Menurut dia, seharusnya pemerintah dalam menyajikan keterangan kepada Mahkamah Konstitusi juga melihat suasana kebatinan faktual, yakni hampir semua fraksi setuju untuk menolak syarat DPR harus mundur itu.

Uji materi UU Pilkada itu dimohonkan anggota DPR Anwar Hafid serta anggota DPRD Sumatera Barat Arkadius Dt. Intan Baso. Para pemohon menguji Pasal 7 ayat (2) huruf s UU Pilkada yang mengatur syarat pengunduran diri anggota legislatif setelah ditetapkan sebagai calon kepala daerah. 

Para pemohon mendalilkan semestinya legislator disamakan dengan calon pertahana atau menteri yang hanya diwajibkan untuk mengambil cuti di luar tanggungan negara pada saat kampanye.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement