REPUBLIKA.CO.ID, BEKASI — Keputusan Pemerintah Kota (Pemkot) Bekasi untuk menggelar simulasi pembelajaran tatap muka di enam sekolah role model masih menuai pro-kontra. Hal ini setelah Dirjen Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Dasar, dan Pendidikan Menengah (PAUD Dikdasmen) Kemendikbud, Jumeri mengirim surat kepada Pemkot Bekasi untuk menghentikan kegiatan simulasi sekolah tatap muka yang melibatkan siswa itu.
Wali Kota Bekasi Rahmat Effendi menjelaskan, kronologi digelarnya simulasi pembelajaran tatap muka yang akhirnya dilakukan pada Senin (3/8) kemarin. Dia menyebut pihaknya telah mengirimkan surat pertama ke Kemendikbud, namun belum ada ruang untuk merealisasikannya. Simulasi pembelajaran tatap muka pun ditunda.
Selanjutnya, pihak Pemkot membuat nota kesepahaman dengan empat lembaga terkait yang terdiri dari Dewan Pendidikan, Dinas Pendidikan, Badan Musyawarah Perguruan Swasta dan Kementerian Agama Kota Bekasi.
“Ada empat lembaga (membuat nota kesepahaman). (kemudian) secara teknis, secara alur, secara proposal membuat surat kedua ke kementerian pendidikan,” kata Pepen, Kamis (6/8).
Dalam surat pemberitahuan kedua yang ditujukan ke Kemendikbud itu, dijelaskan mengenai kesiapan-kesiapan bagi sekolah role model yang ingin simulasi tatap muka. Sehingga, kata dia, ada proses yang dapat dipertanggungjawabkan bukan saja pada kualitas tatap muka tetapi juga standar protokol.
“Saya sampaikan, ini harus sejalan. Jadi kita tidak boleh merasa takut pada persoalan pandemi tapi kita terkapar pada persoalan belajar mengajar,” ujar dia.
Selanjutnya, kata politisi Partai Golkar ini, pihaknya akan menunggu respons dari kemendikbud untuk menjelaskan apakah akan terus diizinkan dengan tingkat kehati-hatian maksimal atau tidak berlanjut. “Kalau tidak (bisa berlanjut) kita menyampaikan kepada para pengelola pendidikan,” ujar dia.
Sementara itu, Ketua DPRD Kota Bekasi Choiruman J. Putro menilai keputusan untuk menggelar simulasi pembelajaran tatap muka di enam sekolah role model cukup antisipatif. Kendati, beberapa aturan mewajibkan adanya persetujuan dari kementerian terkait.
Sebab, kata dia, yang dikhawatirkan adalah dapat menimbulkan kesalahpahaman terhadap orang tua murid maupun pihak sekolah alih-alih sudah diperbolehkan dalam jumlah banyak.
“Simulasi memang butuh contoh konkret, pilot project atau role modelnya. Permasalahannya apa ya, khawatir menimbulkan salah paham kalau sudah diperbolehkan dalam jumlah banyak yang akhirnya melanggar SKB 4 Menteri ini,” kata Choiruman.