Rabu 05 Aug 2020 14:30 WIB

Survei KPK Ungkap Banyak Calon Kepala Daerah Disponsori ASN

Dinas-dinas di daerah memobilisasi dukungan dana kepada calon kepala daerah tertentu.

Deputi Bidang Pencegahan KPK Pahala Nainggolan.
Foto: Antara/Rivan Awal Lingga
Deputi Bidang Pencegahan KPK Pahala Nainggolan.

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Mimi Kartika

Sejumlah calon kepala daerah mengaku memiliki sponsor untuk mendanai pilkada dari kalangan aparatur sipil negara (ASN). Hal itu seperti hasil survei KPK terhadap beberapa calon kepala daerah yang berlaga di Pilkada 2015, 2017, dan 2018.

Baca Juga

"Ternyata ini yang dimaksud adalah kepala dinas, kepala badan, yang jadi tim sukses petahana, dan dia ikut memobiliasi dana untuk mendukung supaya calonnya terpilih," ujar Deputi Pencegahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Pahala Nainggolan dalam kampanye virtual Gerakan Nasional Netralitas ASN, Rabu (5/8).

Ia menjelaskan, ada 466 calon kepala daerah yang kalah di pilkada, kemudian mereka menjawab kuesioner dan wawancara pihak KPK. Mengingat, setiap calon kepala daerah harus menyampaikan laporan harta kekayaan dan dana yang dihabiskan saat bertarung di pilkada.

Survei berangkat dari rasa curiga terhadap besaran harta yang kemungkinan besar tidak mencukupi untuk ikut pilkada. KPK pun menelisik sumber pendanaan pilkada selain dari harta kekayaan calon kepala daerah.

Hasilnya, di atas 70 persen, calon kepala daerah mengaku didukung oleh sponsor, bahkan terjadi peningkatan yakni Pilkada 2015 sebesar 70 persen, Pilkada 2017 sebanyak 82 persen, dan Pilkada 2018 pun 82 persen. Dengan demikian, menurut Pahala, secara umum, calon kepala daerah maju pilkada karena didukung dana dari sponsor.

Kemudian, diketahui sponsor pun meminta imbalan kepada calon kepala daerah tersebut jika menang dalam pilkada. "Jadi sekali lagi konstruksinya bahwa mereka butuh sponsor, sponsor minta janji, dan mereka janji, kalau terpilih janji akan dipenuhi," kata Pahala.

Pahala menyebutkan, secara spesifik para sponsor ini merupakan ASN dan menjabat di pemerintah daerah atau Badan Usaha Milik Daerah (BUMD). Diwawancarai lebih lanjut, jabatan yang dimaksud yaitu kepala dinas, kepala badan, atau jabatan eselon II yang berpotensi dapat memobilisasi pendanaan bagi calon.

"Dan mereka minta supaya mereka entah naik jabatan atau jabatannya di kepala dinas yang bergengsi dan itu terkonfirmasi dari awalnya hanya 60 persen tapi di Pilkada terakhir 2018 sudah 81 persen," kata Pahala.

Ia menyebutkan, menjaga netralitas ASN itu sulit dan justru pelanggarannya terjadi pada pejabat eselon II termasuk sekretaris daerah. Terbukti dari 80 persen itu, bukan hanya tidak netral, tetapi secara khusus ASN memobilisasi dukungan dalam bentuk dana dan donasi kepada calon dengan janji jabatan yang mereka duduki aman, naik jabatan, atau bisa menjabat di BUMD.

"Sekali lagi bukan ASN individu yang memobilisasi ke sana ke mari, tapi ASN yang punya semacam otoritas untuk memobilisasi dana," tutur Pahala.

Dinas-dinas yang berpotensi dapat memobilisasi dana itu misalnya dinas kesehatan, dinas pekerjaan umum, dinas kesehatan, dinas energi dan sumber daya mineral, serta badan pendapatan daerah. Dana didapatkan melalui pengadaan barang atau jasa dan perizinan.

"Jadi dinas-dinas yang terkait dengan ini akan memobilisasi dukungan dalam bentuk dana ke calon yang dia suka, karena dia bagian dari tim sukses yang tidak resmi," lanjut dia.

Pahala menambahkan, indikasi adanya sponsor dari kalangan ASN tersebut dapat dilihat dari terjadinya penggantian pejabat sebelum adanya larangan kepala daerah melakukan mutasi jabatan menjelang pilkada. Jika tidak ada penggantian pun, belum tentu aman dari praktek tersebut.

Bisa saja, ASN itu ikut memobiliasi dana kepada calon kepala daerah sebagai upaya mempertahankan jabatannya. Setelah pilkada pun, praktek semacam ini dapat terendus apabila ada penggantian jabatan setelah pelantikan kepala daerah terpilih, untuk menepati janjinya kepada sponsor.

"Jadi kadang kita takjub juga mungkin kita ngobrol-ngobrol dengan Menpan (Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi) dengan Komisi ASN, pejabat kok bisa 200 pejabat dimutasi sekaligus," tutur Pahala

Ia mencurigai ada upaya balas jasa dari kepala daerah kepada ASN yang ikut memobilisasi dana saat pilkada. Dari survei ini, kata Pahala, diketahui bahwa pelanggaran netralitas ASN itu sangat mengkhawartirkan.

Terutama ASN yang menduduki posisi kepala dinas maupun kepala badan yang notabenenya ASN, bukan tim sukses resmi. Akan tetapi, mereka melakukan upaya agar calon kepala daerah yang didukungnya memenangi pilkada.

Laporan pelanggara netralitas ASN

Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) menerima laporan dugaan pelanggaran netralitas ASN pada Pilkada 2020 per 31 Juli sebanyak 456 ASN. KASN pun telah menerbitkan rekomendasi penjatuhan sanksi terhadap 344 ASN yang terbukti melanggar netralitas.

Dari 344 rekomendasi tersebut, baru 189 ASN atau 54,9 persen yang ditindaklanjuti oleh Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK). Dengan demikian, setengah ASN yang melanggar netralitas belum dijatuhkan sanksi sesuai rekomendasi KASN.

"Dengan tindak lanjut pemberian sanksi oleh PPK baru 189 ASN atau 54,9 persen," ujar Ketua KASN Agus Pramusinto dalam kampanye virtual Gerakan Nasional Netralitas ASN, Rabu (5/8).

Agus mengatakan, simpul permasalahan pelanggaran netralitas ASN adalah respons PPK yang lambat dan enggan menindaklanjuti rekomendasi sanksi dari KAS. Hal ini menunjukkan adanya konflik kepentingan pelanggaran secara terus menerus.

"Masalah ini harus diakhiri. Saya mohon Menpan-RB dan Mendagri memberikan sanksi yang tegas kepada PPK yang tidak menindaklanjuti rekomendasi KASN," kata Agus.

Agus memerinci, ASN yang melakukan dugaan pelanggaran netralitas didominasi jabatan pimpinan tinggi (27,6 persen), diikuti jabatan fungsional (25,4 persen), jabatan administrator (14,3 persen), jabatan pelaksana (12,7 persen), dan jabatan kepala wilayah seperti camat atau lurah (sembilan persen).

Kemudian, Agus juga mengungkapkan 10 instansi tertinggi yang terdapat dugaan pelanggaran netralitas ASN. Secara berurutan, instansi tersebut antara lain, Kabupaten Purbalingga, Kabupaten Wakatobi, Kabupaten Sumbawa, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Kabupaten Muna Barat, Kabupaten Muna, Kabupaten Banjarbaru, Kabupaten Banggai, Kabupaten Sukoharjo, dan Kabupaten Buton Utara.

Ia juga menuturkan lima kategori pelanggaran yang paling sering dilakukan ASN. Pertama, ASN melakukan pendekatan ke partai politik terkait pencalonan dirinya atau orang lain sebagai bakal calon kepala daerah atau wakil kepala daerah (21,5 persen). Kedua, ASN melakukan kampanye atau sosialisasi melalui media sosial (21,3 persen).

Ketiga, ASN mengadakan kegiatan yang mengarah keberpihakan kepada salah satu bakal pasangan calon (13,6 persen). Keempat, ASN memasang spanduk atau baliho yang mempromosikan dirinya atau orang lain (13 persen).

Kelima, ASN membuat keputusan yang dapat menguntungkan atau merugikan bakal pasangan calon (11 persen). Agus mengimbau, seluruh ASN di Indonesia terutama ASN di 270 daerah yang menggelar Pilkada 2020 berhenti melakukan pelanggaran netralitas.

"Fokus pada pelayanan publik," kata Agus.

photo
Kontroversi Pilkada di tengah pandemi Covid-19. - (Berbagai sumber/Republika)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement