Rabu 05 Aug 2020 09:02 WIB

Risma Klaim Zona Hijau, Ahli Membantah, Pemkot Klarifikasi

Klaim Risma bahwa Surabaya sudah berkategori zona hijau Covid-19 menuai polemik.

Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini.
Foto: Antara/Didik Suhartono
Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini.

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Dadang Kurnia, Ali Mansur

Saat menggelar video conference (vidcon) dengan para pedagang serta perwakilan masyarakat yang tinggal di wilayah Kecamatan Gunung Anyar pada Sabtu (1/8) akhir pekan lalu, Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini membahas penurunan penyebaran Covid-19 di Kota Pahlawan khususnya kawasan Gunung Anyar. Menurutnya, kondisi Surabaya saat ini sudah lebih baik dari sebelumnya.

Baca Juga

Hal itu diungkapkannya berdasarkan data dari Kementerian Kesehatan (Kemenkes) bahwa wilayah Surabaya tingkat penularannya sudah menurun dengan kesembuhan yang kian meningkat. Risma bahkan tak ragu menyebut Surabaya sebagai zona hijau Covid-19.

 

“Di mana kondisi Surabaya sudah hijau yang artinya penularannya kita sudah rendah. Lalu yang sembuh sudah banyak,” kata Risma.

Mengingat Surabaya sudah masuk zona hijau, maka menurut Risma, wilayah Gunung Anyar yang sebelumnya dilakukan pemblokiran lokal ke arah Pondok Candra, akan dibuka. Hal itu penting dilakukan supaya masyarakat dapat mengaktifkan kembali usahanya. Namun begitu, ia juga berharap kepada warga di sana agar lebih disiplin menjalankan protokol kesehatan.

 

“Saya membuka ini supaya masyarakat bisa aktif kembali dengan usahanya. Jadi mohon untuk dipatuhi jangan terjadi hal yang tidak diinginkan,” ujarnya.

Klaim Risma itu kemudian dibantah oleh pakar epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Universitas Airlangga (Unair), Windhu Purnomo. Windhu menyayangkan pernyataan tersebut karena menurutnya, bisa disalahpahami oleh masyarakat dan cenderung menyesatkan.

"Saya tahu (Risma mengklaim Surabaya zona hijau Covid-19) dasarnya memang dari Rt (rate of transmission) yang dikeluarkan dari Kemenkes tapi itu cuma sehari. Rt kalau belum 14 hari berturut-turut ya belum (termasuk zona hijau)" kata Windhu dikonfirmasi Selasa (4/8).

 

Windhu menjelaskan, tingkat penularan atau Rt Covid-19 di Kota Surabaya saat masih fluktuatif. Terkadang, angka tingkat penularan Covid-19 berada di atas angka 1 dan beberapa kali terjadi di bawah angka 1.

 

Dia menegaskan, agar suatu daerah bisa masuh zona hijau Covid-19, angka tingkat penularan Covid-19 harus jauh berada di bawah angka 1 selama 14 hari berturut-turut. Windhu pun menyindir klaim Risma yang menyebut Surabaya sebagai zona hijau Covid-19, dengan sebutan hijau semangka.

 

"Hijau di Kota Surabaya adalah hijau semangka. Jadi hijaunya di kulit tapi sesungguhnya dalamnya merah. Itu nanti malah menyesatkan, masyarakat akan keluyuran dan justru berbahaya," ujar Windhu.

 

Windhu menilai, Risma terlalu terburu-buru mengklaim Surabaya masuk ke dalam zona hijau. Ia pun mengingatkan tingginya angka tingkat kematian (fatality rate) akibat Covid-19 di Surabaya. Bahkan, kata dia, angka fatality rate akibat Covid-19 di Surabaya, dua kali dari angka nasional.

 

"Surabaya masih tinggi, 8,9 persen, padahal nasional kurang 4,5 persen. Sedangkan WHO targetnya 2 persen. Jadi tingkat keamanan Surabaya masih jauh," kata Windhu.

 

Windhu kembali meminta Pemkot Surabaya tidak memberikan harapan palsu kepada masyarakat terkait kondisi penularan Covid-19 di Surabaya. Dia kembali mengingatkan, ketika pernyataan dari orang nomor satu di Surabaya itu disalahpahami, masyarakat akan berperilaku seolah-olah tidak sedang dalam pandemi Covid-19.

 

"Banyak masyarakat yang tidak patuh protokol kesehatan padahal di Surabaya sama sekali belum aman," ujarnya.

photo
Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya kembali membuka Kebun Bintang Surabaya (KBS) yang sebelumnya ditutup akibat pandemi Covid-19. - (Dok. Pemkot Surabaya)

Pada Selasa (4/8), Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Surabaya Febria Rachmanita mengklarifikasi bahwa, yang dimaksud dengan hijau adalah Rt bukan zona. Menurut Febria, selama dua pekan terakhir, angka reproduksi efektif (Rt) Covid-19 di Kota Pahlawan memang terkendali.

Dari semula RT Covid-19 Surabaya berwarna merah, kemudian berangsur kuning, dan dalam dua pekan terakhir berubah menjadi hijau. Febria menjelaskan, warna hijau tersebut karena selama 14 hari terakhir, tepatnya mulai 21 Juli-3 Agustus, Rt di Surabaya kurang dari angka satu. Artinya, kata Febria, penularan Covid-19 di Surabaya sudah dapat dikendalikan.

 

“Ingat lho yaa, saya tidak bicara zona. Tetapi bicara Rt yang sudah hijau dengan penularan kasus yang sudah dapat dikendalikan. Atau teorinya penyakit kemungkinan akan hilang dari populasi. Jadi, sekali lagi angka Rt di Surabaya sudah berwarna hijau,” kata Febria di Balai Kota Surabaya, Selasa (4/8).

 

Febria menjelaskan, dalam menentukan Rt, terdapat tiga simbol warna yang digunakan untuk menggambarkan angka penularan kasus. Warna merah artinya angka penularan di atas satu, dan penyakit akan semakin menyebar dan jadi wabah di populasi.

Kedua, warna kuning yang artinya penularan sama dengan satu dan penyakit akan konstan ada, tidak bertambah dan tidak berkurang di populasi, sehingga menjadi endemis. Ketiga, warna hijau yang artinya nilai penularan di bawah satu dan penyakit dapat terkendali.

Nah, Surabaya sudah warna hijau dan artinya penyakit sudah terkendali,” kata Febria.

 

Febria mengatakan, angka Rt tersebut dihitung dengan dasar data onset mulai 26 Februari-3 Agustus 2020 atau setara dengan 160 hari. Febria menerangkan, pada 21 Maret–23 Mei atau bertepatan pada PSBB tahap satu dan dua, RT Surabaya berwarna merah.

Kemudian pada 24–25 Mei membaik menjadi kuning. Berikutnya, pada 26 Mei–4 Juni berubah menjadi warna hijau. Selanjutnya pada 5–6 Juni 2020 berubah menjadi kuning dan pada 7 Juni berwarna merah.

“Lalu 8–10 Juni masuk warna kuning. Pada 11-12 Juni berwarna merah. Kemudian 13-15 Juni kembali berwarna kuning. Terus begitu, berubah-ubah sangat dinamis. Tetapi yang paling lama warna hijau ini adalah dua minggu terakhir, semoga bisa konsisten,” ujar Febria.

 

Febria mengatakan, tes swab dan rapid test yang masif, berperan dalam penurunan angka penularan. Sebab, ketika tes itu dilakukan, pasti dapat mempercepat deteksi dini atau penemuan dini pasien terkonfirmasi. Sehingga setelah diketahui hasilnya, Pemkot bergerak cepat dan melakukan karantina pasien tersebut agar tidak sampai menular kepada anggota keluarganya.

 

“Bukan berarti itu jelek lho ya. Dengan banyaknya kita menemukan yang reaktif itu, maka berarti kita bisa lebih cepat memisahkan. Kita bisa deteksi dini dari awal untuk memisahkan pasien konfirm agar dia tidak tertular dengan keluarganya dan teman-temannya,” kata Febria.

 

Febria berharap, RT tersebut dapat terus terkendali, meskipun terkadang data tersebut bergerak sangat dinamis. Oleh karena itu, kata Febria, dibutuhkan peran masyarakat untuk terus disiplin terhadap protokol kesehatan.

Terkait polemik ini, anggota Komisi IX DPR RI, Muchamad Nabil Haroen meminta agar pemerintah memperbaiki komunikasi publiknya.

"Ini hal serius yang harus segera ditangani. Informasi publik yang komprehensif dengan manajemen yang baik, tentu saja sebuah keharusan agar kita bisa melewati pandemi ini dengan selamat," tegas politikus PDI Perjuangan tersebut saat dihubungi Republika.co.id, Selasa (4/8).

Seharusnya, lanjut Nabil, pemerintah daerah (pemda), pemerintah provinsi (pemprov), dan pusat memberikan informasi satu pintu. Tentunya, kata Nabil, dengan melibatkan pakar-pakar kesehatan yang terkait, agar tidak tumpang tindih informasi. Di antara pandemi di Indonesia, selain penularan virus corona, juga pandemi penyesatan informasi dan tumpang-tindih data kesehatan yang membingungkan warga.

"Terkait perkembangan informasi Covid-19 dan pandemi, pemerintah seharusnya menata sistem informasi agar akurat dan mudah diakses publik," tutur Nabil.

photo
Kesadaran Rendah Protokol Kesehatan Warga Surabaya Raya - (Infografis Republika.co.id)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement