Selasa 04 Aug 2020 17:58 WIB

Perludem: Calon Tunggal Pilkada 2020 Berpotensi di 31 Daerah

Daerah potensial calon tunggal terdiri dari 26 kabupaten dan lima kota

Rep: Mimi Kartika/ Red: Esthi Maharani
Direktur Eksekutif Perludem, Titi Anggraini
Foto: Republika TV/Havid Al Vizki
Direktur Eksekutif Perludem, Titi Anggraini

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) memperkirakan, calon tunggal melawan kotak kosong akan terjadi di 31 daerah pada Pilkada 2020 mendatang. Daerah potensial itu terdiri dari 26 kabupaten dan lima kota dari 270 daerah yang menggelar pilkada serentak tahun ini.

"Tetapi ini masih bisa berubah karena masih sangat dinamis, tahu sendiri proses pencalonan di pilkada kita cenderung injury time," ujar Direktur Eksekutif Perludem, Titi Anggraini dalam diskusi virtual, Selasa (4/8).

Dengan demikian, pencalonan yang cenderung di penghujung batas waktu, maka koalisi tidak berbasis gagasan dan ideologis, tetapi sebatas memenuhi persyaratan. Titi menyebutkan, dari 31 daerah, 20 di antaranya menunjukkan kecenderungan calon tunggal yang kuat.

Ia menyebutkan, 20 daerah itu antara lain Kota Semarang, Kota Surakarta/Solo, Kebumen, Grobogan, Sragen, Wonosobo, Ngawi, Wonogiri, Kediri, Kabupaten Semarang, Kabupaten Blitar, Banyuwangi, Boyolali, Klaten, Gowa, Sopeng, Pematang Siantar, Balikpapan, dan Gunung Sitoli.

Menurut Titi, calon tunggal bertransformasi dari upaya mengatasi kebuntuan politik menjadi cara memastikan kemenangan sejak awal dengan menghindari kompetensi tanpa kehadiran calon lain. Hal itu dilihat dari fenomena calon tunggal di pilkada Tanah Air selama ini.

Di samping itu, Titi merekomendasikan perbaikan pada empat hal yakni perbaikan regulasi, demokratisasi kelembagaan partai politik, penegakan hukum yang efektif, dan membangun kesadaran masyarakat. Ia juga mengusulkan beberapa rekomendasi kebijakan untuk menghindari dampak buruk dari calon berlatarbelakang dinasti dan calon tunggal.

Salah satunya, dengan memberikan atau menghadirkan alternatif calon alternatif agar tercipta pemilu yang kompetitif. Caranya, menurut Titi, merekonstruksi keserentakan pemilu menjadi pemilu serentak nasional (DPR, DPD, serta presiden dan wakil presiden) dan pemilu serentak daerah (DPRD dan kepala daerah).

Namun catatannya, harus dihapus ambang batas pencalonan sebagai konsekuensi keserentakan pemilu legislatif dan kepala daerah dengan sistem pluralitas atau satu putaran. Kemudian, lanjut Titi, penyerahan visi, misi, dan program, bukan hanya sekadar formalitas.

Berikutnya, debat kandidat didesain optimal mengeksplorasi dan membedah visi, misi, dan program calon, bukan hanya seremoni. Tak kalah penting, pembatasan belanja kampanye dan jaminan pengaturan akuntabilitas dana kampanye.

"Karena lagi-lagi kenapa mereka bisa menang juga beberapa hal melibatkan aktivitas yang tidak akuntabel terutama terkait dengan penggunaan uang," kata Titi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement