REPUBLIKA.CO.ID, BOGOR -- Kemajuan dan kemakmuran suatu bangsa ditentukan oleh ‘innovation-driven economy’. “Terlebih di dunia yang highly interconnected dan globalisasi yang ciri utamanya free trade and competition, maka inovasi adalah kunci untuk memenangi persaingan,” kata Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan-IPB University, Prof Dr Ir Rokhmin Dahuri MS.
Ia mengemukakan hal tersebut pada Rapat Koordinasi Pusat BRSDM –KKP bertajuk “Peran Riset Inovatif dan SDM Unggul dalam Mendukung Pembangunan Kelautan dan Perikanan” di Bogor, Selasa (4/8).
Malangnya, kata Prof Rokhmin, dari semua indikator, kapasitas IPTEK dan inovasi bangsa Indonesia, tak terkecuali di sektor Kelautan dan Perikanan, sampai sekarang tergolong rendah.
Ia lalu menguraikan penyebab rendahnya kapasitas inovasi bangsa Indonesia. Pertama, kebanyakan aktivitas R & D (Litbang) hanya untuk menghasilkan tulisan ilmiah (research just for research) dan prototipe teknologi (invensi).
“Sedikit sekali (3-4%) yang menghasilkan produk inovasi komersial yang dibutuhkan umat manusia dan pembangunan. Hasil penelitian tidak sesuai dengan kebutuhan pasar atau pembangunan bangsa,” ujar ketua umum Masyarakat Akuakultur Indonesia itu dalam rilis yang diterima Republika.co.id.
Kedua, rendahnya kreativitas, daya inovasi, dan entrepreneurship kebanyakan peneliti (Perguruan Tinggi, LIPI, BPPT, dan Kementerian). Ketiga, mayoritas pengusaha (industri) mengharapkan ‘quick-short wins’ dalam jangka pendek. Sedangkan, sebagian besar inovasi bisa komersial dan diproduksi masal setelah sekitar lima tahun.
“Tingkat keberhasilan Indonesia mentransformasi (mengindustrikan) hasil penelitian dari tahap prototipe (technological readiness) yang sudah mendapatkan hak paten menjadi produk teknologi komersial hanya 3,5%,” kata Rokhmin mengutip data KemenRistekDikti, 2019.
“Indeks kreativitas dunia tahun 2015, Indonesia berada pada urutan ke-115 dari 139 negara (urutan ke-6 di Asean),” tambah Rokhmin yang membawakan makalah berjudul “Penguatan riset dan inovasi dalam mendukung pembangunan kelautan dan perikanan yang produktif, berdaya saing, menyejahterakan, inklusif, dan berkelanjutan”.
Penyebab keempat, minimnya dana, prasarana, dan sarana R & D. Kelima, peran pemerintah sebagai ‘penjodoh’ (match maker) antara peneliti yang telah menghasilkan prototipe (invensi) dengan industriawan (pengusaha) untuk mentransformasi invensi menjadi inovasi masih jauh dari optimal.
Keenam, rendahnya penghargaan ekonomi maupun sosial dari pemerintah dan masyarakat kepada peneliti.
“Ketujuh, kurangnya insentif dan penghargaan dari pemerintah kepada industriawan yang mau (willing) mengindustrikan dan mengkomersialkan invensi para peneliti menjadi inovasi yang dibutuhakan konsumen (pasar) domestik maupun global (ekspor),” paparnya.
Kedelapan, minimnya kerja sama sinergis antara peneliti – swasta/industri – pemerintah (ABG = Academician –Business - Government). Hasil riset (proto tipe) sedikit sekali yang telah sukses diindustrikan menjadi produk teknologi made in Indonesia yang laku di pasar domestik maupun global.
Kesembilan, kegagalan sistem pendidikan. Mayoritas lulusan hanya bisa menghafal, tetapi lemah dalam hal analytical capability and problem solving, kreativitas, inovasi, teamwork, dan etos kerja unggul/akhlak mulia.
“Faktor selanjutnya adalah rendahnya status gizi dan kesehatan masyarakat. Juga, political commitment Pemerintah, DPR, dan elit pemimpin bangsa terhadap R & D dan inovasi sangat rendah,” papar Rokhmin yang juga ketua Dewan Pakar MPN (Masyarakat Perikanan Nusantara).