REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) menyatakan, ada kecenderungan angka pengguna hak pilih menurun saat pemilihan kepala daerah (pilkada) dengan calon tunggal. Hal itu dinilai karena pemilih skeptis terhadap satu pilihan calon kepala daerah.
"Ada kecenderungan angka pengguna hak pilih (voter turn out) menurun di pilkada dengan calon tunggal. Karena ada skeptisme atas calon yang hanya ada satu," ujar Direktur Eksekutif Perludem, Titi Anggraini kepada Republika, Rabu (29/7).
Tak hanya itu, pilkada di tengah pandemi Covid-19 yang sudah dianggap mengancam partisipasi pemilih, akan menambah skeptisisme tersebut. Pemilih akan menganggap adanya calon tunggal dalam pilkada yang kurang aman dan kurang menjamin perlindungan kesehatan, tidak menghadirkan alternatif pilihan yang beragam, terutama dalam upaya calon mengatasi krisis pandemi Covid-19.
Ia mendorong, penyelenggara pemilihan bekerja keras menyosialisasikan tentang pilkada dengan calon tunggal. Pilkada calon tunggal tetap berjalan dengan lebih dari satu pilihan. Selain ada calon tunggal, juga terdapat pilihan kolom kosong atau kotak kosong.
Menurut Titi, selama ini, sosialisasi KPU cenderung sangat terbatas terkait keberadaan kotak kosong ini. Sehingga tidak banyak masyarakat yang memahami pilihan-pilihan yang mereka miliki meski pilkada dengan calon tunggal.
Selain itu, kata dia, sangat ironis apabila pilkada di tengah pandemi Covid-19 yang berbiaya tinggi ini, publik dihadapkan pada pilihan calon tunggal. Apalagi calon tersebut merupakan para kerabat elite yang hadir tidak secara alamiah dan lebih merefleksikan pragmatisme politik.
Titi mengatakan, partai politik semestinya mengambil tanggung jawab moral, etis, dan politik untuk sebisa mungkin tidak mengusung calon tunggal di Pilkada 2020. Meskipun ada regulasi yang membuka ruang calon tunggal yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada.
"Namun, calon tunggal di pilkada Indonesia itu anomali. Biasanya dalam praktik global, calon tunggal terjadi di daerah pemilihan kecil sehingga partai tidak merasa terlalu terganggu eksistensinya," kata Titi.
Selain itu, secara global, calon tunggal dalam pemilihan merupakan cara-cara rezim otoriter untuk menyingkirkan lawan politik mereka. Sementara di Indonesia, calon tunggal terjadi di daerah yang pemilihannya besar dengan jumlah pemilih yang banyak, sistem yang dianut pun multipartai.
"Dampak calon tunggal adalah bisa membuat kualitas demokrasi lokal terdegradasi dan mutu kompetisi pilkada yang kompetitif menjadi terdistorsi," kata Titi.
Dari data sementara terhadap dinamika daerah yang Perludem kumpulkan, ada sekurangnya 17 daerah yang akan terjadi calon tunggal. Daerah itu antara lain Kota Semarang, Kabupaten Sragen, dan Kabupaten Gowa, yang pejawat kepala daerahnya berpotensi maju kembali.
Kemudian Kota Solo yang santer disebut ada calon tunggal yakni Putra Presiden Joko Widodo (Jokowi), Gibran Rakabuming Raka. Selanjutnya potensi calon tunggal diperkirakan terjadi di Kebumen, Grobogan, Wonosobo, Ngawi, Wonogori, Kediri, Kabupaten Semarang, Kabupaten Blitar, Banyuwangi, Boyolali, Klaten, Sopeng, dan Pematang Siantar.