Jumat 24 Jul 2020 19:51 WIB

 Legislator: Anggaran untuk POP Kemendikbud Belum Ditetapkan

Anggaran POP itu pagunya ada di 2021.

Rep: Ali Mansur / Red: Agus Yulianto
Anggota Komisi X DPR RI, Ledia Hanifa Amaliah.
Foto: Dok Humas DPR RI
Anggota Komisi X DPR RI, Ledia Hanifa Amaliah.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Komisi X Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI Ledia Hanifa Amaliah menegaskan, anggaran untuk Program Organisasi Penggerak (POP) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) belum ditetapkan. Maka, pihaknya akan membahasnya, apalagi program POP Kemendikbud itu tengah menjadi polemik.

"Itu pagunya untuk 2021, tapi seleksinya dilakukan sekarang dan pembahasan baru soal pendahuluan. Jadi kita belum menetapkan pagu definitifnya nanti sesudah nota keuangan," kata politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) tersebut, saat dihubungi Republika.co.id. Jumat (24/7).

Lanjut Ledia, selain akan membahas pagu definitifnya, termasuk didalamnya anggaran POP Kemendikbud, juga konsepnya bakal dibicarakan lagi. Apalagi, konsep-konsep yang ditawarkan merdeka belajar terlepas dari namanya, itu tidak detail sampai ke bawah. Maka, apabila konsepnya tidak jelas, pelaksanaannya pun kemungkinan tidak akan jelas.

"Tapi menurut kami ada satu hal yang sangat mendasar seharusnya sebagai seorang menteri itu menghidupkan dan mendinamisir organisasi di dalam Kementerian dulu," kata Ledia.

Apalagi, menurut Ledia, sebenarnya organisasi penggerak di dalam Kemendikbud sendiri cukup banyak, seperti Widyaiswara, lembaga manajemen mutu, balai pelatihan guru dalam mata pelajaran yang spesifik dan lembaga lainnya. Maka jika Kemendikbud bisa menggerakkan atau mengoptimalkan organisasi internalnya, pengeluarannya pun tidak akan sebesar yang dianggarkan untuk POP Kemendikbud. Bahkan sisanya dapat dimanfaatkan untuk membayar guru honorer

"Negara juga sudah investasi pada mereka, dari mulai disekolahkan di-pelatihan. Kebijakan internal itu harus didahulukan oleh mereka, ini juga kami ingatkan berkali-kali sebenarnya," ungkap Ledia.

Mestinya, sambung Ledia, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) mengakui jika memang tidak bisa menggerakan organisasi yang di dalam. Juga harus dipastikan organisasi internal Kemendikbud harus terlibat banyak dalam program penggerak tersebut. Sebab, menurutnya, tugas dari Kementerian tidak hanya ke luar, tapi juga ke dalam.  

"Jadi harus bisa menggerakkan yang di dalam. Bagaimana dia bisa menggerakkan yang diluar kalau di dalamnya tidak bisa mendinamisir," ujarnya.

Selain itu, Ledia mempertanyakan, apakah ada kepastian dari mereka yang menerima POP Kemendikbud akan konsisten dan memahami apa yang menjadi kebutuhan dasar peningkatan pelatihan-pelatihan tersebut. Hal ini, kata Ledia, memang menjadi satu hal yang sangat kritis dan pada akhirnya Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama, PGRI pun memutuskan untuk mundur. Padahal, Muhammadiyah dan Nadhlatul Ulama sudah bertahun-tahun terlibat di dalam pendidikan .

"Kita hawatir ada organisasi yang sebetulnya tidak  pernah atau cuma melatih-melatih saja tidak bisa mengukur, sebenarnya yang dilatihnya mencapai target atau tidak. Itu "bodor" ngajarin berenang tapi orangnya tidak bisa berenang," kritik Ledia.

Sebelumnya, organisasi atau lembaga yang mengundurkan diri dari POP Kemendikbud terus bertambah. Setelah Muhammadiyah dan Nadhlatul Ulama, kini Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) turut mundur dari POP Kemendikbud. Mereka yang masuk ke calon penerima POP Kemendikbud dibagi menjadi tiga kategori. Pertama kategori Gajah, dengan sasaran lebih dari 100 satuan pendidikan dan memperoleh bantuan maksimal Rp 20 milyar per tahun sebanyak 29 organisasi.

Kedua kategori Macan, dengan sasaran 21 sampai dengan 100 satuan pendidikan dan memperoleh bantuan maksimal Rp 5 milyar per tahun, sebanyak 42 organisasi. Terakhir kategori Kijang dengan sasaran lima sampai dengan 20 satuan pendidikan dan memperoleh bantuan maksimal Rp 1 milyar per tahun, sebanyak 113 organisasi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement