REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen (Formappi), Lucius Karus meragukan Pilkada 2020 akan menghasilkan pemimpin daerah yang berkualitas. Alasannya, sistem rekrutmen calon kepala daerah oleh partai politik terus bermasalah.
"Bicara soal hasil pilkada yang berkualitas itu jadi sulit ketika sumber rekrutmen calon kepala daerah itu ada di partai politik, yang dari ujung ke ujung juga bermasalah serius," ujar Lucius dalam diskusi virtual, Jumat (24/7)
Lucius mengatakan, sejak dulu proses rekrutmen calon kepala daerah di partai politik selalu bersifat tertutup. Selain itu, praktik jual beli pencalonan pun menjadi ruang gelap yang tak bisa diintervensi oleh pihak manapun, termasuk penyelenggara, baik Komisi Pemilihan Umum (KPU) maupun Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu).
Rekrutmen calon kepala daerah merupakan kewenangan penuh partai politik. Menurut Lucius, sistem rekrutmen yang tidak sehat ini akan tumbuh subur pada Pilkada 2020 yang digelar di tengah pandemi Covid-19.
"Jadi intervensi untuk penyelenggaraan pilkada ini buat saya sudah tidak penting bicara soal calon-calon itu. Karena yang diproses oleh KPU, yang diawasi oleh Bawaslu adalah peserta pemilu yang muncul dari proses rekrutmen yang buruk di partai politik," kata Lucius.
Meurut Lucius, saat ini pemilih lah yang harus menggunakan hak suaranya dengan tepat. Pemilih harus mencari informasi sebanyak-banyaknya tentang kandidat yang akan dicoblos pada 9 Desember mendatang.
Dengan begitu, setidaknya muncul sedikit rasa optimisme gelaran pilkada menghasilkan pemimpin yang berkualitas. "Kita bisa berharap, kita masih punya optimisme akan kepala daerah terpilih yang walau diusung dengan situasi buruk di partai politik," kata dia.
Tahapan pilkada serentak tahun 2020 ditunda sejak Maret lalu karena pandemi Covid-19. Akibatnya, pemungutan suara di 270 daerah terdiri dari sembilan provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota bergeser dari 23 September, menjadi 9 Desember 2020.