REPUBLIKA.CO.ID, SEMARANG -- Penyesuaian pelaksanaan pendidikan selama masa pandemi di Jawa Tengah (Jateng) masih menghadapi hambatan. Sekitar 20 hingga 25 persen pelajar di daerah ini tidak memiliki akses layanan program Pendidikan Jarak Jauh (PJJ) atau sistem daring.
Data ini diperoleh dari hasil survei tertutup yang dilakukan Forum Anak Jawa Tengah, terkait dengan terjadinya pandemi Covid-19 yang mengharuskan para pelajar untuk melaksanakan sistem PJJ secara daring.
Ketua Forum Anak Jawa Tengah, Amelia Adiputri Diansari mengungkapkan, ada 590 pelajar dari 35 kabupaten/kota di Jateng, yang menjadi responden survei tertutup Forum Anak Jawa Tengah tersebut.
"Dari survei tersebut terangkum sejumlah permasalahan yang muncul terkait dengan prlaksanaan PJJ secara daring akibat pandemi Covid-19 di Jawa Tengah," ungkapnya dalam Bincang Santai Bareng Media bertajuk 'Curhat Anak Jawa Tengah di Masa Pandemi', yang digelar secara video conference, Selasa (21/7) petang.
Sejumlah masalah yang muncul, jelas Amelia, mulai dari siswa tidak memiliki telepon pintar untuk mengakses internet karena faktor kekurangan ekonomi orangtuanya hingga permasalahan minimnya sinyal di lingkungan tempat tinggalnya.
Hal ini diamini Ricky, anggota Forum Anak Kabupaten Wonosobo dalam forum ini. Permasalahan minimnya akses sinyal jamak dialami sejumlah rekannya ketika kegiatan belajar mengajar (KBM) tidak bisa dilaksanakan secara tatap muka dan harus dilaksanakan secara daring.
Ia pun mengisahkan ada rekannnya yang pulang kampung karena tidak ada sekolah tatap nuka lagi. Sebaliknya ketika proses pembelajaran dilakukan secara daring dimulai, rekannya tersrbut mengalami kesulitan koneksi jaringan internet.
"Kami coba kirim pesan lewat WA juga selalu gagal tersambung, karena memang di lokasinya sulit mendapatkan sinyal. Akhirnya pihak sekolah mendatangi rumahnya, yang berlokasi di kawasan pegunungan Kledung, di Kabupaten Temanggung," jelasnya.
Guna mengatasi permasalahan ini, lanjutnya, pihak sekolah kemudian membantu agar sebisa mungkin temannya tersebut tetap mengikuti pelajaran secara daring. "Saat test akhir semester, teman kami boleh datang ke sekolah untuk mendapatkan soal," tambah siswa Kelas 12 SMAN 2 Wonosobo ini.
Kasus yang nyaris sama, juga diungkapkan Foresta Arbar Ramadhan dari SMKN 1 Brebes. Beruntungnya, para pemangku lingkungan di tempat siswa tinggal, merespon kesulitan para peserta didim dengan menyediakan akses internet gratis selama masa pandemi.
"Terlepas dari kemudahan ini, saya juga mengakui masih banyak siswa lain yang belum seberuntung kami hingga mereka mengalami kendala untuk mengikuti proses pembelajaran secara daring," ujarnya.
Sementara, Muhammad Meizar Brahmantyo dari Sragen lebih melihat persoalan dampak pembelajaran daring terhadap pembentukan karakter. Karena pendidikan karakter, menurutnya, lebih mengena bila proses belajar dilaksanakan secara tatap muka antara guru dan peserta didik.
"Contoh sederhana, belajar bisa terlambat tidak terikat wajtu dan tidak ada sanksi yang jelas. Ini beda dengan kegiatan belajar yang dilakukan secara tatap muka di sekolah, karena sanksi atas ketidakdisiplinan siswa sudah jelas," tegasnya.
Sementara, Naning Pudji Julianingsih (Spesialis Perlindungan Anak dari Unicef Perwakilan Wilayah Pulau Jawa) mengakui bahwa layanan perlindungan anak jadi terganggu karena ada refocusing anggaran dialihkan ke penanganan Covid-19. Ia juga mengaku sudah jamak mendapatkan keluhan, mulai dari orangtua yang keberatan dengan paketan data unlimited agar anaknya bisa mengikuti pembelajaran jarak jauh secara daring.
"Maka idealnya anak- anak sekolah digratiskan rekening internetnya," kata Naning.