Sabtu 18 Jul 2020 10:31 WIB

China Naikkan Belanja Militer, RI Perkuat Kerja Sama

Imbangi China, industri pertahanan Indonesia perkuat kerja sama dengan negara lain.

Empat pesawat tempur F16 melakukan flying pass di atas Laut Natuna, Rabu (15/1/2020). Sejumlah negara di kawasan Laut China Selatan meningkatkan kewaspadaan.
Foto: Antara/M Risyal Hidayat
Empat pesawat tempur F16 melakukan flying pass di atas Laut Natuna, Rabu (15/1/2020). Sejumlah negara di kawasan Laut China Selatan meningkatkan kewaspadaan.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Aktivitas China yang intens di kawasan Laut Natuna Utara meningkatkan kewaspadaan negara-negara sekitar. Sejumlah negara di seputar kawasan tersebut pun gencar melakukan latihan militer.

Menurut Direktur Eksekutif Lembaga Studi Pertahanan dan Studi Strategis Indonesia (Lersperssi) Rizal Darma Putra, China terus meningkatkan kemampuan militernya. Mengutip pidato Presiden China Xi Jinping, ungkap Rizal, negara Komunis itu berkomitmen mempertebal anggaran pertahanan dan memodernisasi kekuatan militer hingga 2049.

"Xi Jinping berkomitmen menaikkan anggaran 6,6 persen atau sekitar 178 miliar dolar AS," kata Rizal dalam diskusi "MEF Pasca 2024" yang digagas The Indonesia Democracy Initiative, Kamis (16/7) melalui aplikasi virtual, dalam rilis kepada Republika.co.id.

Kendati, kata Rizal, China kerap menyembunyikan alokasi anggaran militer riil ke publik. Tak heran bila banyak analis yang menganggap anggaran sebenarnya jauh lebih besar dari yang dipublikasikan. Bahkan, lembaga riset SIPRI memprediksi angkanya sebesar 261 miliar dolar AS.

Agresivitas China dalam hal kekuatan militer ini diimbangi negara-negara sekitar. Mereka berupaya meningkatkan kehadiran secara signifikan di kawasan, mulai dari gelar latihan militer hingga memperkuat pangkalan militer. Posisi kawasan tersebut yang sangat strategis merupakan pertimbangan utama negara-negara sekitar.

Rizal mengungkapkan, jika Selat Malaka ditutup untuk arus transportasi selama sehari saja, potensi kerugian mencapai 64 juta dolar AS. Jika ada penutupan Selat Malaka, alternatif rute yang dapat dilalui logistik dan perdagangan antarnegara adalah melalui wilayah laut Indonesia. "Itulah sebabnya Indonesia perlu bersiap melakukan antisipasi dalam memperkuat pertahanan wilayahnya," kata Rizal.

Upaya memperkuat pertahanan ini, tertuang dalam Rencana Strategis (Renstra) Pertahanan Tahap III pada periode 2020-2024. Namun, hingga 2018, pemenuhan kekuatan pokok minimum atau minimum essential force (MEF) baru mencapai 61,48 persen. Anggaran pertahanan Indonesia juga masih di bawah rasio satu persen terhadap produk domestik bruto (PDB).

Deputi V Kantor Staf Kepresidenan Jaleswari Pramodhawardhani mengatakan, upaya Indonesia dalam menyiasati terbatasnya anggaran adalah melalui kerja sama pertahanan dengan negara lain. Indonesia tercatat telah menjalin sinergi pertahanan dengan Korea Selatan, Turki, Pakistan, Filipina, Jerman, Belarusia, Republik Demokratik Laos, dan Uni Emirat Arab.

Jaleswari mengungkapkan, industri pertahanan Indonesia juga didorong melakukan kerja sama dengan industri pertahanan di negara lain. Di antaranya PT PAL bekerja sama dengan DSME Korea Selatan dalam pembuatan kapal selam.

Dalam upaya memperkuat mobilitas pasukan, PT Pindad bekerja sama dengan PNSS Turki dalam pembuatan tank modern. Untuk  memperkuat pertahanan udara, PT DI bekerja sama dengan Boeing Amerika Serikat dalam manufaktur, sertifikasi, dukungan, dan pemeliharan vertical lift product. PT Pindad juga menjalin kerja sama dengan SPETS Ukraina dalam modernisasi alutsista pertahanan udara.

Meski belum mencapai MEF 100 persen, tapi kapabilitas pertahanan Indonesia menurut Jane’s Sentinel Security Assessment dianggap lebih baik dibandingkan negara-negara Asia Tenggara lain, kecuali Singapura. Militer Indonesia dinilai memiliki kapabilitas 81 persen dibandingkan kondisi ideal.

"Indonesia berada di bawah Singapura yang memiliki kapabilitas melebihi kondisi ideal sebesar 181 persen. Sementara negara lain masih di bawah seperti Malaysia 76 persen dan Vietnam 74 persen," kata Jaleswari.

Kemampuan industri pertahanan dalam negari dalam menyuplai alutsista juga semakin membaik. Jika pada Renstra I, pengadaan alutsista dalam negeri berbanding luar negeri sebesar 0,6, maka di Renstra II rasio tersebut dinaikkan menjadi dua berbanding satu untuk pengadaan dalam negeri. Angka ini diharapkan bertambah menjadi 3,8 di akhir periode Renstra III. Sejak 2015 hingga 2018, PT PAL, PT Pindad, dan PT DI mencatat penjualan alutsista Rp 4,5 miliar untuk memenuhi kebutuhan pertahanan dalam negeri.

Menjelang berakhirnya Renstra III pada 2024, politisi PKS Ahmad Heryawan berharap, renstra pertahanan Indonesia selanjutnya dapat melangkah dari target MEF menuju optimum essential force. Gubernur Jawa Barat periode 2008-2018 itu menganggap masalah pertahanan bukan hanya mengenai persiapan perang. Militer Indonesia juga perlu untuk menjamin keamanan dan kedaulatan NKRI. 

"Kita perlu mencegah terulangnya pencurian sumber daya alam, penyelundupan ke luar maupun perdagangan manusia. Tidak mudah dilakukan jika kita tidak memiliki kekuatan militer yang memadai," ujar Aher, sapaan Ahmad Heryawan.

Jaleswari mengamini pernyataan Aher. "Sejak 2010 wacana untuk beralih dari MEF sudah disuarakan Angkatan Laut yang menyarankan menggunakan parameter kekuatan operasional," ujar Jaleswari.

Tantangan terbesar dalam pemenuhan MEF adalah masih terbatasnya anggaran pertahanan Indonesia. Terlebih dengan adanya kondisi pandemi saat ini. Hampir seluruh negara terimbas Covid-19 yang berakibat pada belanja pertahanan.

Hingga 2018, Angkatan Bersenjata Indonesia sudah mencapai MEF rata-rata 61,48 persen. Matra Angkatan Darat menjadi yang paling siap dengan 72,97 persen, matra AL mengikuti dengan MEF 67 persen, dan AU 44 persen.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement