Senin 13 Jul 2020 14:17 WIB

Dicecar Soal Djoko Tjandra, Imigrasi Akui Ada Jalur Ilegal

Dirjen Imigrasi mengakui ada jalur-jalur ilegal untuk masuk ke Indonesia.

Rep: Nawir Arsyad Akbar/ Red: Andri Saubani
Dirjen Imigrasi Jhoni Ginting.
Foto: Antara/Akbar Nugroho Gumay
Dirjen Imigrasi Jhoni Ginting.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Jenderal (Dirjen) Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM Jhoni Ginting mengakui, saat ini memang ada jalur-jalur ilegal untuk masuk ke Indonesia. Jalur inilah yang disebutnya sulit dipantau oleh pihaknya.

"Ini bukan mengeles atau apa, tapi banyak juga PMI (pekerja migran Indonesia) kita yang ilegal, yang masuk ke Malaysia, yang kita juga tidak tahu masuknya dari mana," ujar Jhoni dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi III DPR, Senin (13/7).

Baca Juga

Ia menjelaskan, jalur ilegal itu ada di perbatasan Papua-Papua Nugini dan Kalimantan-Malaysia. Serta, adanya jalur tradisional Aceh-Thailand Selatan dan Nusa Tenggara Timur-Timor Leste.

"Celah seperti inilah yang menurut hemat kami sering atau bisa dimanfaatkan oknum untuk keluar masuk Indonesia secara tidak resmi atau ilegal," ujar Jhoni.

Adapun seseorang yang ada dalam daftar cekal, saat masuk ke Indonesia lewat jalur resmi akan dikategorikan ke indikator merah. Petugas imigrasi akan langsung mengunci datanya, dan selanjutnya melakukan koordinasi dengan kementerian atau lembaga yang mencekalnya.

"Dicek dulu kementerian atau lembaga terkait, supervisor atau pejabat berwenang akan berkoordinasi langsung dengan kementerian atau lembaga yang meminta," ujar Jhoni.

Dalam rapat ini, anggota Komisi III DPR mencecar jajaran Direktorat Jenderal Imigrasi terkait buron Djoko Tjandra. Anggota Komisi III DPR Fraksi Partai Demokrat Benny K Harman mengkritik Direktorat Jenderal Imigrasi yang terkesan membiarkan Djoko Tjandra. Ia meminta agar pihak Dirjen Imigrasi tak ikut terlibat dalam kasus ini.

"Jika tak ada penjelasan, publik akan berimajinasi, berpendapat. Yang perlu bapak jelaskan itu masuk melalui apa, itu lebih bagus, daripada ikut main cilukba," ujar Benny.

Semula, Benny menilai Djoko masuk ke Indonesia lewat jalur-jalur tikus di perbatasan. Namun, melihat dokumen-dokumen yang ada, ia justru menuding negara seakan memberi jalan masuk buron tersebut.

"Dokumen menunjukkan masuk tidak lewat jalan tikus, ini menunjukkan pemerintah memberikan jalan masuk, lewat jalan tol, memberi karpet merah," ujar Benny.

Sementara, anggota Komisi III DPR Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) Sarifuddin Sudding menilai adanya skenario terkait lolosnya Djoko Tjandra. Sebab, seorang warga negara asing yang buron seharusnya terdeteksi oleh pihak keimigrasian.

"Anehnya, seorang warga negara asing yang juga sebagai penjahat terhadap putusan hukum tetap, bisa masuk dan lolos tanpa terditeksi oleh pihak imigrasi," ujar Sudding dalam rapat dengar pendapat dengan Direktorat Jenderal Imigrasi, Senin (13/7).

Pihak Dirjen Imigrasi dan aparat penegak hukum juga terkesan tak ada koordinasi untuk menangkan Djoko Tjandra. Apalagi mengingat kronologi masuknya dia ke Indonesia, mulai dari dihapusnya dari daftar pencarian orang (DPO) hingga memeroleh KTP elektronik.

"Yang bersangkutan warga Papua Nugini dan merupakan sudah dijatuhi hukuman. Kalau saya lihat catatan di sini, sepertinya ada skenario besar, kalau diliat tanggal-tanggalnya," ujar Sudding.

Adapun, anggota Komisi III DPR Fraksi Partai Nasdem Taufik Basari mengatakan, lolosnya Djoko Tjandra menjadi tamparan bagi aparat penegak hukum Indonesia. Khususnya, setelah dengan mudahnya ia memperoleh KTP elektronik dan paspor.

Ia menilai, adanya oknum-oknum lain yang terlibat atas lolosnya Djoko Tjandra. Karena, seorang buron tentu tak mudah untuk mendapatkan KTP elektronik dan paspor.

"Ini harus dibongkar, ada di mana-mana termasuk membantu keluar Djoko pada 2009 dan masuk ke Indonesia, termasuk urus paspor karena dibantu," ujar Taufik dalam rapat dengar pendapat dengan Direktorat Jenderal Imigrasi, Senin (13/7).

photo
Tren vonis ringan terdakwa korupsi pada 2019 - (Infografis Republika.co.id)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement