REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) menyatakan keluar dan mengundurkan diri dari tim teknis yang membahas omnibus law RUU Cipta Kerja Klaster Ketenagakerjaan. Tim ini dibentuk Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) dengan tujuan untuk mencari jalan keluar atas buntunya pembahasan klaster ketenagakerjaan. Namun, serikat pekerja, seperti KSPSI AGN, KSPI, dan FSP Kahutindo memutuskan untuk keluar dan mengundurkan diri dari tim.
Menurut Presiden KSPI Said Iqbal, setidaknya ada empat alasan mengapa keputusan untuk keluar dari tim teknis diambil. "Pertama, tim tidak memiliki kewenangan untuk mengambil keputusan dan kesepakatan apapun. Tetapi hanya mendengarkan masukan dari masing-masing unsur," kata Said dalam siaran persnya, Ahad (12/7).
Alasan kedua, unsur Apindo/Kadin dengan arogan mengembalikan konsep RUU usulan dari unsur serikat pekerja dan tidak mau meyerahkan usulan konsep apindo/kadin secara tertulis. Maka, jika hanya sekedar mendengarkan masukan dan ngobrol ngobrol saja, secara resmi pihaknya sudah menyampaikan masukan berupa konsep RUU secara tertulis kepada pemerintah dan apindo/kadin.
"Tetapi kemudian secara arogan konsep serikat pekerja tersebut dikembalikan oleh unsur Apindo/Kadin. Barangkali mereka merasa di atas angin karena merasa didukung oleh unsur pemerintah,” kata Said Iqbal.
Dengan demikian, pihaknya berpendapat, hal ini menyalahi prinsip tripartite dan norma-norma dalam dialog sosial yang mengedepankan kesetaraan, kebebasan berpendapat, dan saling percaya untuk mengambil keputusan besama secara musyawarah dan mufakat. Hal itu sebagaimana juga termaktub dalam konvensi ILO no 144 tentang Tripartit yang sudah diratfikasi pemerintah indonesia.
Ketiga, ada kesan pembahasan akan dipaksakan selesai pada tanggal 18 Juli 2020. Dengan jumlah pertemuan yang hanya 4-5 kali, serikat buruh memiliki dugaan ini hanya jebakan dan alat untuk mendapatkan legitimasi dari buruh. Karena tidak mungkin membahas pasal-pasal yang sedemikian berat hanya dalam 4-5 kali pertemuan.
"Jadi kami menduga ini hanya formalitas dan jebakan saja dari pemerintah yang diwakili kemenaker dalam memimpin rapat tim. Agar mereka mempunyai alasan, bahwa pemerintah sudah mengundang serikat pekerja/serikat buruh untuk didengarkan pendapatnya," ucapnya.
Dengan kata lain, kata Said, pemerintah yang diwakili kemenaker hanya sekedar ingin memenuhi unsur Prosedur saja bahwa mereka telah mengundang pekerja masuk dalam tim dan tidak menyelesaikan Substansi materi RUU Omnibus Law yang ditolak buruh tersebut.
Keempat, sambung Said, masukan yang disampaikan hanya sekedar ditampung. Tetapi, tidak ada kesepakatan dan keputusan apapun dalam bentuk Rekomendasi dalam menyelesaikan substansi masalah omnibus law. Padahal, yang harus diselesaikan adalah substansi dari klaster ketenagakerjaan yang menghapus upah minimum yaitu UMK dan UMSK dan memberlakukan upah perjam divbawah upah minimum.
Kemudian juga mengurangi nilai pesangon, penggunaan buruh outsorcing dan buruh kontrak seumur hidup untuk semua jenis pekerjaan, waktu kerja yang eksploitatip dan menghapus cuti dan menghapus hak upah saat cuti. Juga emudahan masuknya TKA buruh kasar di Indonesia, mereduksi jaminan sosial, mudahnya PHK sewenang wenang tanpa izin pengadilan perburuhan. Serta hilangnya beberapa sanksi pidana untuk pengusaha.
“Berdasarkan 4 alasan di atas, kami dari KSPI, KSPSI AGN, dan FSP Kahutindo keluar dan mengundurkan diri dari tim teknis Omnibus Law RUU Cipta Kerja Klaster Ketenagakerjaan,"tegas uqbal.
Sedangkan yang masih tetap berada di dalam tim adalah serikat pekerja KSBSI bersama beberapa serikat pekerja yang lainnya, mereka harus bertanggung jawab penuh bilamana Omnibus Law RUU Cipta Kerja yang merugikan buruh ini tetap dipaksa untuk disahkan. Maka dengan keluarnya dari tim, KSPI tidak bertanggung jawab atas apapun hasil dari pembahasan tim tersebut.
"Kami tidak ingin masuk di dalam tim yang hanya sekedar menampung masukan saja tanpa keputusan, dan hanya sebagai alat legitimasi dan menjadi tukang stempel terhadap pengesahan RUU Cipta Kerja,” tutup Iqbal.