Ahad 12 Jul 2020 19:32 WIB

'Gelombang Kedua Covid-19, Publik Pilih Kebiasaan Baru'

Masyarakat lebih memilih kebiasaan baru daripada PSBB seperti sebelumnya.

Kebiasan baru di antaranya mengenakan pelindung wajah (face shields) ketika bersepeda. Hasil survei Center for Political Communication Studies (CPCS) menyebutkan mayoritas publik menginginkan kebiasaan baru atau normal baru jika gelombang Covid-19 terjadi di Tanah Air.
Foto: ANTARA/Nyoman Hendra Wibowo
Kebiasan baru di antaranya mengenakan pelindung wajah (face shields) ketika bersepeda. Hasil survei Center for Political Communication Studies (CPCS) menyebutkan mayoritas publik menginginkan kebiasaan baru atau normal baru jika gelombang Covid-19 terjadi di Tanah Air.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Hasil survei Center for Political Communication Studies (CPCS) menyebutkan mayoritas publik menginginkan kebiasaan baru atau normal baru jika gelombang Covid-19 terjadi di Tanah Air. Masyarakat tidak ingin pemerintah kembali menerapkan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) seperti sebelumnya.

"Secara mutlak, mayoritas publik lebih menginginkan tetap diterapkannya normal baru, seandainya gelombang kedua Covid-19 terjadi, yaitu mencapai 82,4 persen," kata Direktur Eksekutif Center for Political Communication Studies (CPCS) Tri Okta SK dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Ahad (12/7).

Baca Juga

Sejumlah negara kembali memberlakukan karantina wilayah (lockdown) setelah muncul gelombang kedua penyebaran virus corona. Di antaranya Melbourne di negara bagian Victoria Australia, Beijing dan sekitarnya di China, dan beberapa wilayah di benua Eropa.

Menurut Okta, kebiasaan baru atau normal baru telah menjadi pilihan sebagian besar masyarakat, dengan memperhatikan protokol kesehatan, seperti menggunakan masker. Hanya sebagian kecil publik yang memilih diberlakukan kembali Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), yaitu sebesar 12,8 persen, sedangkan sisanya menyatakan tidak tahu/tidak menjawab sebanyak 4,8 persen.

Pilihan tersebut, kata Okta, tidak lepas dari dampak ekonomi yang memukul hampir seluruh sektor usaha, besar dan kecil. Seperti diakui oleh Presiden Joko Widodo, krisis kesehatan telah berkembang menjadi krisis ekonomi, ditandai dengan ancaman pertumbuhan negatif pada kurun 2020.

"Berbeda dengan krisis 1998, di mana waktu itu sektor UKM mampu bertahan," ujarnya.

Di sisi lain, para pakar epidemiologi masih mewanti-wanti bahwa pandemi belum selesai dan vaksin masih dalam tahap pengembangan. "Untuk itu pemerintah dalam komunikasi publik harus menggencarkan kepatuhan terhadap protokol kesehatan, dari memakai masker, sering cuci tangan atau pakai hand sanitizer, dan memperhatikan physical distancing," kata Okta.

Survei CPCS dilakukan pada 21-30 Juni 2020, dengan jumlah responden 1200 orang mewakili seluruh provinsi di Indonesia.

Survei dilakukan melalui sambungan telepon terhadap responden yang dipilih secara acak dari survei sebelumnya sejak 2019. Margin of error survei sebesar ±2,9 persen dan pada tingkat kepercayaan 95 persen.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement