REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Sekretaris Jenderal Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Achmad Baidowi menyoroti pemilihan presiden (Pilpres) 2019, khususnya bagi partai politik. Ia mengatakan, partai politik (parpol) pendukung calon presiden tak terlalu merasakan coattail effect atau efek ekor jas dari sosok yang didukungnya.
"Harus jujur diakui, mayoritas parpol tidak merasakan manfaatnya dampak dari total impact yang dimaksudkan," ujar Baidowi dalam sebuah acara bedah buku, Ahad (12/7).
Hal inilah yang berimplikasi pada dukungan bagi calon legislatif di daerah pemilihannya. Di mana calon presiden cenderung tak memberikan dorongan suara dalam pemilihan legislatif (Pileg) 2019.
"Sehingga catatan dampak elektoral, total impact, dampak efek terhadap partai-partai pengusung (presiden) itu tidak pernah ada," ujar Baidowi.
Di sejumlah daerah, capres malah membuat caleg kesulitan meraih dukungan. Sebab di sejumlah dapil, masyarakat justru mendukung pasangan calon lain, yang tak didukung partainya.
"Mungkin dua parpol yang merasakan dampak secara langsung, sisanya mencari sendiri. Kalau calegnya tidak bekerja, ya tidak akan berhasil meraih suara maksimal," ujar Baidowi.
Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Siti Zuhro, mengatakan, efek ekor jas hanya dirasakan dua partai pengusung calon presiden. PPP yang mendukung Jokowi adalah salah satu yang tak merasakannya.
Bahka dalam Pemilu 2019, partai berlambang Ka'bah itu justru menempati posisi paling bawah di parlemen. "Asumsi akan ada efek ekor jas itu ternyata tidak terbukti, contoh kesulitan Mas Awiek di Madura, untungnya mas Awiek menang, tapi tidak untuk PPP, PPP mendapat suara bontot, jadi tidak dirasakan efek ekor jas oleh PPP," ujar Siti.
Untuk itu, ia mengusulkan agar Pilpres dan Pileg digelar terpisah. Hal itu agar para caleg juga memdapatkan atensi yang besar dari masyarakat saat masa kampanye.
"Pilpres mendahului Pileg, jadi supaya sistemnya tetap memperkuat adalah sistem presidensial sehingga bukan Pilegnya didulukan," ujar Siti.