Sabtu 11 Jul 2020 16:42 WIB

Pasal-Pasal Terkait Pers Dicabut dari RUU Cipta Kerja

DPR dan pemerintah sepakat mencabut klaster pasal-pasal pers dari RUU Cipta Kerja.

Rep: Arif Satrio Nugroho/ Red: Andri Saubani
Kartu pers ilustrasi
Foto: Antara/Ari Bowo Sucipto
Kartu pers ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pasal terkait pers yang terkandung dalam draf Omnibus Law Rancangan Undang-undang (RUU) Cipta Kerja akhirnya dicabut. Draf 'RUU Sapujagat' itu kini tak lagi mengutak atik pers.

Pencabutan pasal terkait pers di RUU Cipta Kerja disepakati pemerintah dan DPR melalui rapat Badan Legislasi (Baleg) DPR RI pada Kamis (9/7) lalu.

Baca Juga

"Dalam rapat kemarin kita bersepakat untuk menarik klaster pers dari UU Cipta Kerja. Jadi kebebasan pers, sanksi pers itu memang kita hormati lah, jadi kita benar-benar respect lah jadi kita komitmen pada demokrasi," kata Wakil Ketua Baleg DPR RI Willy Aditya pada Republika, Sabtu (11/6).

Dalam draf awal RUU Cipta Kerja, ada sejumlah pasal turut mengatur tentang pers, yakni terkait dengan pemodalan asing untuk perusahaan media hingga peningkatan angka denda. Padahal, ketentuan tersebut sebelumnya sudah diatur dalam UU no. 40/1999 tentang Pers.

Dengan dicabutnya pasal tentang pers, maka regulasi tentang pers tetap dipegang oleh UU No. 40 tahun 1999 tentang Pers. "Jadi terkait kontrol dan pers, terkait investasi asing di dunia pers itu dikembalikan ke UU existing (yang sudah ada)," kata Willy

Willy mengatakan, pencabutan RUU pers ini sudah sesuai dengan daftar inventarisasi masalah (DIM) yang disampaikan fraksi fraksi partai politik dalam lanjutan pembahasan RUU Cipta Kerja. Menurut Wiy, semua fraksi sepakat agar pasal itu dicabut.

"Problem kita bukan lagi kebebasan pers tapi lebih pada etika. Masalah modal asing kita kembalikan saja pada undang-undang existing," ujar dia.

Politikus Nasdem ini menambahkan, pencabutan pasal terkait pers ini juga sesuai dengan permintaan insan pers dan organisasi yang menaungi pekerja media. "Sesuai permintaan Dewan Pers, AJI (Aliansi Jurnalis Independen), IJTI (Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia) dan semua insan pers kami akomodasi," ujarnya menambahkan

Sebelumnya, Baleg DPR RI juga sudah menggelar rapat dengar pendapat bersama konstituen pers terkait pengaturan pers di Omnibus Law RUU Cipta Kerja, pada Kamis (11/6). Dalam hal ini, pihak pers meminta pasal terkait pers di RUU tersebut dicabut.

Pandangan pihak pers dalam rapat tersebut disampaikan oleh Dewan Pers dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI). "Usulan kami RUU Cipta Kerja menghapus yang berkaitan dengan pengaturan sektor pers," kata Ketua Komisi Hukum Dewan Pers Agung Dharmajaya dalam rapat tersebut.

Dalam hal ini, pihak pers menyoroti sejumlah pasal yang sudah diatur dalam UU no. 40/1999 tentang Pers bersinggungan langsung dengan sejumlah pasal di Omnibus Law. Pasal tersebut adalah pasal 11 dan 18 UU no.40/1999.

Pasal 11 dalam UU Pers mengatur soal penanaman modal asing berbunyi “Penambahan modal asing pada perusahaan pers dilakukan melalui pasar modal.”

Adapun perubahannya di RUU Omnibus Law Cipta Kerja berbunyi, “Pemerintah Pusat mengembangkan usaha pers melalui penanaman moda sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang penanaman modal.”

Ketua AJI Abdul Manan dalam rapat bersama Baleg tersebut mempermasalahkan frasa 'pemerintah pusat mengembangkan usaha pers'. "Ini menimbulkan pertanyaan. Jadi seperti ingin memberikan peran baru pada pemerintah pusat dalam mengembangkan pers," kata dia.

Pihak pers juga menyoal permasalahan soal kenaikan denda pada pihak yang menghalangi kinerja pers, maupun perusahaan pers yang melakukan pelanggaran. Dalam UU Pers, setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi kinerja pidana penjara paling lama dua tahun atau denda Rp 500 juta.

Ketentuan tersebut masih sama di Omnibus Law, tapi dendanya dinaikan menjadi Rp 2 miliar. Sementara, di UU Pers perusahaan pers yang melanggar ketentuan dikenai denda Rp 500 juta. Di Omnibus Law Cipta Kerja, denda dinaikkan sampai Rp 2 miliar.

Kenaikan denda tersebut dipermasalahkan pihak pers. Sebab, dari segi penegakkan hukum pers, polisi lebih sering menggunakan pidana umum pada pihak yang menghalangi kinerja jurnalistik. Sementara itu, denda bagi perusahaan pers juga dinilai terlalu besar.

"Bagi kami konsennya pemberian sanksi itu dengan semangat mendidik, bukan membangkrutkan. Dewan tau iklim ekonomi pers, syarat permodalan pers saja 50 juta, tapi kalau sanksinya 2 miliar semangatnya membumihanguskan bukan mendidik," kata Abdul Manan.

Pada RUU Cipta Kerja, ketentuan lebih lanjut mengenai jenis, besaran denda, tata cara, dan mekanisme pengenaan sanksi administratif diatur dengan Peraturan Pemerintah. Hal ini juga dipermasalahkan. Sebab, Pers seharusnya bersifat self regulatory atau independen.

"UU Pers tidak punya turunan. Turunan dari UU Pers adalah aturan dari Dewan Pers, misalnya juknis. Mandat dari undang-undang adalah self regulatory, jadi turunan dari UU dibahas oleh Dewan Pers dan konstituennya," kata anggota Dewan Pers Arif Zulkifli.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement