REPUBLIKA.CO.ID, PONTIANAK -- Gubernur Kalimantan Barat (Kalbar), Sutarmidji membuka seminar visual dan webinar DPR-MPR untuk menyerap aspirasi pengusulan Sultan Hamid II sebagai pahlawan nasional.
Pada kesempatan itu terkait lambang negara, Garuda Pancasila Sutarmidji menegaskan, sudah final perancangnya adalah Sultan Hamid II dan itu sudah diakui negara. "Secara de facto dan de jure, pencipta lambang negara sudah diakui negara. Cuma perjuangan politiknya perlu diungkap dalam satu produk hukum," ujarnya saat sambutan dalam seminar visual dan webinar di Kota Pontianak, Sabtu (11/7).
Sutarmidji menyebutkan, pencipta lagu kebangsaan dan penjahit bendera merah putih disebutkan dalam produk hukum. Untuk Sultan Hamid II tentu juga bisa, karena secara yuridis pencipta lambang negara sudah diakui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud).
"Sebenarnya juga bahwa penjahit bendera merah putih, Ibu Fatmawati benar, namun ide merah putih itu siapa? Itu perlu diungkap juga. Kemudian soal Sultan Hamid sudah jelas perancang, namun butuh produk hukum dan perjuangan politik lagi. Padahal secara de facto dan jure beliau penciptanya," kata politikus Partai Golkar itu.
Sutarmidji menyebutkan, fakta sejarah mestinya perlu diungkap, bukan ditutupi. Sejarah tidak perlu ditutupi kebenarannya. "Suka tidak suka sejarah harus diungkap kebenarannyabukan ditutupi oleh kepentingan politik atau perbedaan pandangan politik atau lainnya," sebut dia.
Melalui seminar yang sebenarnya sudah lama diinginkannya harus menghasilkan pemikiran yang jernih dan ilmiah.
"Perjuangan pengajuan Sultan Hamid II untuk diusulkan sebagai pahlawan sejak 1999. Terdapat sejumlah rangkaian dilakukan dan kini seminar. Ini sebetulnya yang ditunggu. Sekarang tinggal perjuangan politik di Senayan dan kepada perwakilan kita untuk perjuangkannya," kata diaSutarmidji
Dalam kegiatan webinar tersebut tampil sebagai narasumber MPR RI asal Fraksi Nasdem adalah Syarief Abdullah Alkadrie, Charles Meikyansyah, dan Yessi (putri Bupati Melawi–anggota DPR-MPR termuda).
Ketiganya menyerap aspirasi lokal Kalbar dan Nusantara lewat webinar nasional untuk dibawa ke badan kajian serta perjuangan legislasi. Legislator atau wakil rakyat akan berhak memanggil presiden atau menteri sosial serta menteri pertahanan dalam rangka kenegaraan sesuai amanah undang-undang.
Pada sesi kedua, inti dari penelitian ilmiah mengenai kesejarahan Sultan Hamid yang paling kelam menurut publik masa kini. Yakni kasus pidana yang melilitnya sebagai bersekongkol dengan Westerling dalam peristiwa Angkatan Perang Ratu Adil (APRA). Untuk ini tampil peneliti atas kasus pidana yang dililitkan ke tubuh Hamid, dikupas dari putusan Mahkamah Agung (MA) yang jarang diulas buku-buku sejarah Indonesia.
Kemudian ada penulis buku tiga kali cetak ulang di Kanisius, berjudul Sejarah yang Hilang. Sang penulis, Mahendra Petrus, adalah ahli dokumen dinas dan lambang negara dari Kementerian PAN dan Reformasi Birokrasi. Ia mengupas secara detail soal Westerling yang dikajinya dari persepsi mata Indonesia dan Belanda.
Sesi ketiga adalah sesi masukan para pakar yang trending topic di media massa Indonesia, yakni Dr Anhar Gonggong, Prof Dr AM Hendropriyono, Prof Meutia Hatta, Prof Dr Djoko Suryo (UGM), dan Presiden Asosiasi Guru Sejarah Seluruh Indonesia (AGSI), Dr Sumardiansyah Perdana Kusuma.