Jumat 10 Jul 2020 23:55 WIB

Amnesty Desak Para Oknum Polisi Penganiaya Saksi Diadili

Sanksi administratif untuk oknum polisi di Polsek Percut Sei Tuan dinilai tak cukup.

Rep: Bambang Noroyono / Red: Andri Saubani
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid.
Foto: Republika/Flori Sidebang
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Amnesty Internasional Indonesia mendesak Polri menyeret personelnya yang terlibat dalam penganiyaan saksi di Polsek Percut Sei Tuan, Deli Sedang, Sumatera Utara (Sumut) ke pengadilan untuk diadili. Direktur Eksekutif Amnesty Indonesia Usman Hamid menegaskan, pencopotan, maupun sanksi administratif terhadap personel yang terlibat, tak cukup untuk memberikan rasa adil bagi korban dan masyrakat.

Usman meminta Polri, harus tegas, transparan, dan imparsial dalam melakukan penyelidikan kasus penganiyaan tersebut. Menurut Usman, tak ada dalil yang dapat membenarkan aksi penganiyaan. Apalagi aksi keji tersebut, dilakukan oleh anggota Kepolisian. Jangankan warga yang menjadi saksi dari peristiwa, bahkan narapidana sekalipun, menurut Usman, tak boleh mendapatkan penganiyaan dalam bentuk apa pun.

Baca Juga

“Pihak berwenang harus mengadili pelaku melalui proses pengadilan yang adil, bukan sekedar memberi sanksi administratif berupa hukuman disipliner,” kata Usman, dalam pernyataan resmi Amnesty Indonesia, di Jakarta, Jumat (10/7).

Usman mengatakan, kasus penganiyaan warga sipil yang melibatkan personel Kepolisian bukan sekali ini saja terjadi. Namun, kasus-kasus tersebut, kerap berakhir dengan penyelesaian hukum berupa sanksi, dan administratif.

Padahal kata Usman, sanksi administratif, maupun indisipliner, tak bisa menganulir kewajiban untuk menyeret pelaku ke persidangan umum. Alih-alih menyeret pelaku penganiyaan ke peradilan sipil.

Sanksi administratif, pun indisipliner yang diberikan institusi Kepolisian terhadap pelaku penganiyaan, tak lain sebagai bentuk impunitas, dan penghilangan sanksi pidana.

“Sanksi disiplin tetap bisa diberikan pada saat proses hukum bergulir. Namun, sanksi tersebut tak bisa menggantikan proses pengadilan sipil,” terang Usman.

Pekan lalu, terungkap aksi penganiyaan yang dilakukan oleh Koprs Kepolisian di Polsek Percut Sei Tuan, Deli Serdang, Sumut. Penganiyaan tersebut, dialami oleh Sarpan, seorang bapak 59 tahun.

Sarpan, semula warga yang dimintai keterangan sebagai saksi terkait kasus pembunuhan, pada 2 Juli. Namun, saat dimintai keterangan, personil kepolisian setempat malah melakukan penganiyaan terhadap Sarpan.

Bahkan Sarpan, yang statusnya sebagai saksi dijebloskan ke dalam sel tahanan. “Di Polsek itu, Sarpan mengaku dipukuli, dan diintimidasi oleh oknum-oknum polisi,” begitu dalam laporan Amnesty Indonesia.

Atas penganiyaan tersebut, Sarpan sempat melaporkan ke Mapolresta Medan. Dari laporan tersebut, beredar dokumentasi bekas penyiksaan yang dialami Sarpan saat dimintai keterangan di Polsek Percut Sei Tuan.

Kapolsek Percut Sei Tuan Kompol Otniel Siahaan, sempat membantah insiden penganiyaan itu. Akan tetapi, pada Kamis (9/7), Polri resmi mencopot Kapolsek dari jabatannya.

Sembilan anggota Polsek Percut Sei Tuan, pun diperiksa. Delapan di antaranya menunggu hasil sidang indisipliner di Polrestabes Medan.

Akan tetapi, menurut Usman sidang indisipliner tetap mewajibkan pelaku penganiyaan diseret ke meja persidangan umum. Usman menambahkan, kasus penganiyaan warga sipil yang dilakukan para personil Kepolisian, bukan sekali ini terjadi.

Pekan lalu, seorang warga Keerom, di Papua, Yudi Kwimi juga mengalami insiden penganiyaan mengerikan serupa saat ditangkap Kepolisian lantaran diduga melakukan pencurian tas dan uang. Yudi yang sempat kabur lantaran tak tahan dengan penganiyaan saat proses penyelidikan, kembali tertangkap dan mengalami penganiyaan berulang.

Amnesty Indonesia mencatat, sepanjang Juni 2019-2020, ada 56 kasus penganiyaan dan penyiksaan terhadap terduga pelaku kejahataan. Di antara kasus tersebut, 87 orang diantaranya berstatus tahanan.

Dari catatan tersebut, 45 kasus penganiyaan dilakukan oleh anggota Kepolisian, dengan angka korban sebanyak 69 orang. Amnesty Indonesia mendesak Polri menghentikan pola-pola penyiksaan, penganiyaan terhadap saksi, narapidana, dan tahanan, dalam menjalankan peran sebagai penegak hukum.

“Penyiksaan terhadap warga ini benar-benar tidak manusiawi, merendahkan martabat dan jelas tindakan kriminal yang tidak dapat dibenarkan dalam hukum mana pun. Penyiksaan merupakan perbuatan yang melanggar hukum dan tidak boleh ada seorangpun yang mengalaminya, termasuk tersangka atau bahkan narapidana sekalipun,” tegas Usman.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement