Selasa 07 Jul 2020 21:47 WIB

Meutya Hafid: Ekonomi dan Pertahanan Saling Bergantung

Pandemi mempengaruhi ekonomi sehingga anggaran Pertahanan terpaksa dipangkas

Rep: Zainur Mahsir Ramadhan/ Red: Ichsan Emrald Alamsyah
Menteri Pertahanan Prabowo Subianto bersalaman dengan Ketua Komisi I DPR Meutya Hafid sebelum rapat kerja dengan Komisi I DPR
Foto: Republika/Prayogi
Menteri Pertahanan Prabowo Subianto bersalaman dengan Ketua Komisi I DPR Meutya Hafid sebelum rapat kerja dengan Komisi I DPR

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Komisi I DPR RI Meutya Hafid mengatakan, ekonomi dan pertahanan memiliki hubungan yang saling bergantung satu sama lain. Dia menambahkan, pertahanan yang kuat jika tidak diimbangi ekonomi yang baik akan berdampak sangat buruk bagi keberlangsungan negara.

"Kita bisa lihat apa yang terjadi pada Uni Soviet terkait itu. Jadi kita harus sepakat bahwa pertahanan dan ekonomi harus seiring dan sejalan," ujar dia, Selasa (7/7).

Namun demikian, ia tak menampik kemampuan ekonomi dan anggaran belanja militer berbagai negara di era pandemi Covid-19 ini banyak yang dipotong. Tak terkecuali Indonesia, yang terdampak dan dipotong sekitar Rp 8 triliun dari total sebesar Rp 131,1 triliun.

Meutya melanjutkan, Indonesia belum memiliki anggaran pertahanan yang besar. Terlebih, jika dibandingkan dengan 15 negara lain yang disebut memiliki anggaran terbesar pada sektor pertahanan di periode 2019 lalu.

Mengutip data IISS, dia menambahkan, Amerika Serikat (AS) sebagai negara, memiliki jarak anggaran pertahanan yang terlampau jauh dari Indonesia. Pada 2019 lalu, anggaran AS mencapai 684,6 miliar dolar AS (Rp 9.254 triliun), Bahkan, di Asia Tenggara sendiri, Indonesia, kata dia masih bersaing dengan Thailand dan Malaysia, serta kerap kali memiliki anggaran pertahanan di bawah Singapura.

Hanya saja, ada tiga perspektif menyoal kepentingan untuk meningkatkan alokasi anggaran pertahanan. Di antaranya adalah Perspektif Ancaman, Perspektif Kesejahteraan dan Perspektif Kelembagaan.

"Perspektif ancaman yang nyata ada di Laut Natuna Utara, khususnya ZEE yang berada di perbatasan Laut China Selatan (LCS). Selain dari nuklir, biologi, kimia," kata dia.

Dia mengakui, sejauh ini Indonesia memang lebih banyak merespon daripada langkah mitigasi terkait berbagai ancaman itu. Namun ke depan, dirinya yakin Indonesia akan memiliki mitigasi yang lebih baik. Sehingga diharapkan, hal tersebut akan menghasilkan persiapan yang matang untuk menghadapi berbagai resiko sejak jauh hari.

"Tidak ada negara yang dikutuk lemah selamanya dalam pertahanan, kita lihat banyak contoh kasus yang bangkit. Dimulai China dan Jepang. Sebaliknya, yang dulunya super power seperti Uni Soviet malah kurang mampu mendesain berbagai kebutuhan hingga akhirnya runtuh," ucap dia.

Presiden sebagai panglima tertinggi, lanjut Meutya, harus cermat melihat berbagai kelemahan dari pertahanan dan keamanan. Oleh sebab itu, Menteri pertahanan, ia sebut juga harus bisa bersinergi dengan Presiden untuk memberikan masukan yang tepat dan paling memungkinkan untuk ditindaklanjuti.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement