Selasa 07 Jul 2020 03:23 WIB

Pukat UGM: Dinasti Politik Lekat dengan Korupsi

Tak bisa dinafikan bahwa dinasti politik memberikan efek negatif.

Rep: Dian Fath Risalah/ Red: Esthi Maharani
Tersangka Bupati Kutai Timur Ismunandar mengenakan rompi tahanan usai diperiksa di Gedung KPK, Jumat (3/7). KPK menetapkan tujuh tersangka dalam kegiatan tangkap tangan atas kasus korupsi dalam bentuk penerimaan hadiah atau janji terkait pekerjaan infrastruktur di lingkungan Kabupaten Kutai Timur diantaranya  Bupati Kutai Timur dan istrinya sekaligus Ketua DPRD Kutai Timur Ence UR Firgasih serta, Kepala Bapenda dengan inisial (MUS), Kepala BPKAD (SUR), Kepala DInas PU (ASW), JA dan AM selaku rekanan dengan barang bukti uang tunai senilai Rp170 juta, Saldo tabungan Rp4,8 Miliar, dan sertifikat deposito sebesar Rp1,2 M.
Foto: Republika/Thoudy Badai
Tersangka Bupati Kutai Timur Ismunandar mengenakan rompi tahanan usai diperiksa di Gedung KPK, Jumat (3/7). KPK menetapkan tujuh tersangka dalam kegiatan tangkap tangan atas kasus korupsi dalam bentuk penerimaan hadiah atau janji terkait pekerjaan infrastruktur di lingkungan Kabupaten Kutai Timur diantaranya Bupati Kutai Timur dan istrinya sekaligus Ketua DPRD Kutai Timur Ence UR Firgasih serta, Kepala Bapenda dengan inisial (MUS), Kepala BPKAD (SUR), Kepala DInas PU (ASW), JA dan AM selaku rekanan dengan barang bukti uang tunai senilai Rp170 juta, Saldo tabungan Rp4,8 Miliar, dan sertifikat deposito sebesar Rp1,2 M.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) UGM  Zaenur Rahman menilai, tertangkapnya Bupati Kutai Timur (Kutim) Ismunandar dan istrinya yang merupakan Ketua DPRD Kutim, Encek Unguria R Firgasih makin memperjelas dinasti politik lekat dengan tindak pidana korupsi. Pada Jumat (3/7), KPK menetapkan keduanya bersama lima orang lainnya sebagai tersangka dugaan suap proyek infrastruktur. 

"Bupati Kutai Timur semakin menegaskan bahwa dinasti politik di Indonesia lekat dengan tindak pidana korupsi," kata Zaenur kepada Republika, Senin (6/7).

Meskipun, lanjut dia, hingga kini dinasti politik bukan merupakan satu perbuatan atau suatu kondisi yang dilarang oleh peraturan perundang-undangan. Namun, tak bisa dinafikan bahwa dinasti politik memberikan efek negatif. 

Salah satunya potensi korupsi yang sangat besar. Hal tersebut karena dengan adanya dinasti politik mengakibatkan semakin lemahnya pengawasan karena beberapa elemen kekuasaan telah dipegang keluarga.

Dengan hilangnya pengawasan menjadikan mutlaknya kekuasaan suatu keluarga di daerah. Hal tersebut mengakibatkan seluruh sumber daya dikuasai oleh keluaraga, baik sumber daya politik maupun sumber daya ekonomi.

"Akhirnya tak kaget mengakibatkan lahirnya korupsi," ujarnya.

Salah satu contoh, yakni dinasti politik di Klaten yang terbongkar pada 2017. Saat itu KPK menangkap Bupati dan Wakil Bupati Klaten Hartini dan Mulyani.  Keduanya terpilih dalam pemilihan kepala daerah pada 9 Desember 2015.

Kedua orang yang dijuluki "Duo Srikandi" karena sama-sama memiliki nama "Sri" itu dilantik sebagai bupati dan wakil bupati pada 17 Februari 2016. Hartini adalah istri almarhum Haryanto Wibowo, Bupati Klaten periode 2000-2005. Sebelum menjabat bupati, Hartini menjabat wakil bupati (2010-2015) mendampingi Sunarna, suami Mulyani. Pada Pilkada 2015, Sunarna tidak bisa maju lagi karena sudah menjabat selama dua periode.

Dalam sengkarut dinasti politik Klaten tersebut, cabang-kekuasaan dikuasai satu keluarga yang mengakibatkan tak efektif pengawasan. Dengan kekuasaan dimonopoli oleh jejaring keluarga, di mana tak ada lagi saling mengawasi dan mengontrol di antara sesama penyelenggara negara.

"Kita lihat banyak contoh lain, misal di Banten, Bangkalan atau di Kutai Kertanegara dan sekarang di Kutai Timur dan banyak tempat lain," tambahnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement