Senin 29 Jun 2020 16:59 WIB

KPAI Terima 75 Pengaduan PPDB Secara Nasional

KPAI menerima pengaduan kisruh PPDB secara nasional.

KPAI menerima pengaduan kisruh PPDB secara nasional. Sejumlah orang tua murid berunjuk rasa di depan kantor Kemendikbud, Jakarta, Senin (29/6/2020).
Foto: Antara/Wahyu Putro A
KPAI menerima pengaduan kisruh PPDB secara nasional. Sejumlah orang tua murid berunjuk rasa di depan kantor Kemendikbud, Jakarta, Senin (29/6/2020).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menerima 75 pengaduan terkait Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) dari berbagai daerah di Indonesia sejak 27 Mei hingga 28 Juni 2020.

Komisioner KPAI Bidang Pendidikan, Retno Listyarti, dalam konferensi pers melalui webinar di Jakarta, Senin mengatakan dari 75 pengaduan tersebut, 49 pengaduan atau 63,33 persen di antaranya berasal dari DKI Jakarta dan sisanya dari Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, Banten, Lampung, Kalimantan Tengah dan Sumatra Utara.

Baca Juga

Pengaduan-pengaduan tersebut terdiri dari masalah teknis 21,33 persen dan pengaduan terkait kebijakan 78,67 persen, dengan 6,67 persen di antaranya terkait masalah domisili atau Kartu Keluarga (KK), 2,67 persen tentang masalah jalur prestasi, 1,33 persen masalah perpindahan orang tua dan juga dugaan ketidaktransparanan PPDB di suatu sekolah.

Kemudian, Retno menyampaikan ada juga laporan bahwa PPDB di Kota Bogor tetap menggunakan kriteria nilai raport, yang pada dasarnya tidak sesuai dengan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud).

Adapun pengaduan tertinggi yang diterima KPAI adalah terkait masalah kebijakan usia 66,67 persen dari proses PPDB yang dilaksanakan di DKI Jakarta.

Sementara itu, terkait masalah teknis, KPAI menerima sejumlah pengaduan yang di antaranya melaporkan masalah server yang lambat sehingga berdampak pada keterlambatan verifikasi data, kemudian calon peserta didik yang salah mengisi data saat mendaftar online dan ada juga yang mencurigai transparansi panitia PPDB.

Kemudian, orangtua siswa juga melaporkan bahwa pendaftaran di luar jaringan (luring) ternyata tidak menerapkan protokol kesehatan seperti menggunakan masker dan jaga jarak.

Sementara itu, dari pengaduan di DKI Jakarta yang didominasi keberatan para orang tua atas kriteria usia, Retno mengatakan, sebagian besar orang tua menyampaikan kesedihan mereka karena anak-anak mereka terpukul secara psikologis karena tidak diterima di semua sekolah negeri pada jalur zonasi karena usianya muda.

Padahal, rumah mereka, katanya, dekat dengan sekolah yang dituju. Dia mencontohkan salah satu calon siswa di Cipinang Muara yang tidak diterima di semua SMPN di lingkup zonasi daerah tersebut. Padahal di zona itu ada 24 sekolah. Sementara saat mendaftar, calon siswa tersebut berusia 12 tahun 5 bulan dan 5 hari.

KPAI menyatakan bahwa berdasarkan penjelasan Dinas Pendidikan DKI Jakarta usia tertua calon siswa yang diterima di zonasi SMP Cipinang Muara adalah 14 tahun 11 bulan. Sedangkan yang termuda adalah 12 tahun 5 bulan 8 hari

Sementara usia normal masuk SMP sesuai dengan wajib belajar SMP adalah tahun 13 tahun. Jadi, mereka mengatakan bahwa usia yang diterima di sekolah-sekolah tersebut pada dasarnya masih dalam batas normal. "Artinya, anak-anak yang diterima masih anak usia sekolah di bawah usia maksimal yang dipersyaratkan dalam peraturan pemerintah," katanya. 

 

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement