Sabtu 27 Jun 2020 05:31 WIB
Hamka

Hamka dan Kilas Balik Beberapa Pengalaman dengan Komunis

Kisah Hamka berhadapan dengan komunis

Penangkapan pelakuPemberontakan PKI di Madiun tahun 1948.
Foto:

Sebulan di belakang dapatlah tikaman dari rusuk yang dilakukan kominis di Madiun itu disapu bersih. Sdr. Chatib Sulaiman telah melanjutkan MPRD dan menyusun Barisan Pengawal Negeri dan Kota [BPNK]. Tetapi kaum Kominis di Sumatera Barat belum putus asa. Kepada Resident Sumatera Barat dianjurkannya supaya suatu Kesatuan Nasional dibentuk kembali, meskipun tidak bernama Front Nasional.

Beberapa pemimpin rakyat dari partai yang lain setuju pula dengan anjuran itu. Di antaranya Djuir Muhammad dari Partai Sosialis Indonesia, Chatib Sulaiman dan St. Soelaiman dari PNI – Sdr. Marzuki Yatim pun setuju dalam prinsip.

Lalu diadakan kembali musyawarat, atas undangan Komite Nasional Daerah. Maksudnya ialah supaya tenaga rakyat di daerah itu jangan terpecah-belah dalam mempertahankan daerah, dan jangan sampai pengaruh perpecahan di Jawa mendalam pula di Sumatera Barat.

Tidak sepakat mendirikan “Front Pertahanan Nasional”!

Tidak sepakat “Front Nasional anti Imperialis.

Yang [di]sepakat[i] ialah “Balai Permusyawaratan Nasional”. Partai-partai tidak akan terikat. Masing-masing akan bebas [menentukan] sikap sendiri. “Balai” hanya untuk bertukar pikiran dalam suasana politik kedaerahan.

Suarapun bulat! Udara rapat amat jernih!

Sekarang siapa pula Ketuanya? Lagi-lagi Hamka!

Djuir Muhammad dari PSI mengeluarkan suara yang beritama membujuk saya, menyuruh saya berkorban untuk kepentingan bangsa dan nasional.

Waktu itulah saya memberikan jawab[an] tegas tentang pendirian hidup saya. “Saya ini bukan orang pulitik! Kata orang saya ini hanya pujangga. Giliran saya sudah habis. Sekarang adalah keaktifan setiap partai menanam ideologi. Badan[-badan], dewan-dewan, balai-balai, hanyalah sebutan manis belaka, yang hasilnya tidak akan ada. Dan kalaupun akan ada, bukanlah lagi saya orangnya, yang pantas diketuakan. “Pulitik” dan “Pujangga” kalau disatukan, mestilah hilang “Pu”-nya, dan tingga “jangga”. Orang Minangkabau membahasakan “janggal” dengan “jangga”.

Main habis, orang semuanya tertawa, dan “Balai” pun tidak jadi terbentuk, yang kalau terbentuk akan jadi alat yang bagus bagi Komite Nasional atau diperalat oleh kominis.

Seminggu pula setelah gagal membentuk “Balai Permusyawaratan Nasional” itu, datanglah serangan Belanda yang kedua. Pimpinan perjuangan terserah kepada orang yang dipercayai rakyat.

Perjuangan hebat, hubungan putus dan pimpinan PDRI ada di Sumatera. Sampai akhirnya timbul Roem-Royen Statement, Republik kembali ke Yogya dan KMB. – Di waktu itu jugalah kominis aktif kembali dengan caranya sendiri.

Di mana-mana mulailah kedengaran cela makian kepada Kabinet Hatta. Hatta menjual Negara kepada Belanda. Maki-makian ini diatur di mana-mana, sampai di warung-warung kopi. Padahal belum lagi penyerahan Kedaulatan.

Beberapa “Pareman [preman] cap-gajah” disuruh ngobrol di lepau-lepau mencela Hatta! Pengkhianatan Madiun hendak dilipur begitu saja dengan memaki Hatta. [Hal itu dilawan oleh] beberapa orang pemuda Islam, {62}(di Sumatera Barat tak usah kuatir, sebab semua Islam). Bahkan kominis itu sendiri pun Islam “juga”, tapi dikudai oleh Kominis. Pemuda-pemuda Islam itu mengambil sikap, yaitu “mencari pasal”. Ketika alat-alat burung beo kominis itu menela-cela Bung Hatta pada satu lepau, datang seorang pemuda Islam.

“Apa katamu kepada Bung Hatta? Kau katakan Hatta pengkhiat? Coba ambil kaca, lihat mukamu! Macam kau [ini] hendak menggantikan Hatta?” – Lalu bertengkar, dan…..pang!” Ditinjunya muka kaki tangan kominis itu. Berpuluh orang yang duduk di lepau itu tak ada yang membelanya, semua menyalahkannya: “Adakah Hatta mau dicela!”

Mulanya si kaki tangan [kominis itu] masih menjawab: “Awas waang! Jiwa[mu] terancam! Partai kami kuat!”

Pemuda Islam yang palak tadi lalu menjawab dengan beransangnya: “Japutlah [jemputlah] Pak Muso waang itu ke kuburnya! Jeput Amir Sjarrun Fid Din(*) ke liang lahat. Jeput Tuanku Nan Hitam [dan] Tuanku Nan Putih-mu ke dalam tanah. Nak den sudahi gadangnyo siko!”. Atau waang den utus menjemputnya?”

Sejak itu mencela Hatta di muka ramai [mereka] tak berani lagi.

                                 ***

Taktik itu dirobah! Di Simabur Batusangkar tersiarlah surat [be]rantai, bahwa pemimpin-pemimpin Masyumi dan Muhammadiyah seluruh Kabupaten Tanah Datar, 275 orang banyaknya, akan di”bersihkan”. Kabar-kabar begini, biasanya baru mulai terdengar, memang mengagetkan. Dan kalau iman lemah, bisa hilang semangat dibuatnya.

Maka datanglah engku Duski Samad ke Simabur. Seorang pemuda yang imannya masih goyang memperlihatkan surat itu kepada beliau.

“Adakan tabligh, saya hendak bicara”, kata engku Duski.

Di hadapan Tabligh itu pembicara agama yang terkenal itu mulai menghantam sifat “pengecut”. “Pengecut adalah alamat tak beriman!”

“Saya mendengar kabar”, kata beliau, “bahwa di sini disiarkan orang surat berantai, [yang] mengatakan bahwa 275 pemimpin Masyumi-Muhammadiyah hendak disembelih. Lalu ada yang mengadu kepada saya dengan muka pucat! Seluruh Tanah Datar ini Islam, seluruhnya Masyumi! Muhammadiyah Perti. Seluruhnya bermesjid! Puluhan ribu rakyat di sini Islam semua dan Masyumi semua! Pemimpinnya 275 [orang] akan diculik! Akan disembelih! Sedangkan menangkap anak ayam, lagi susah.

Apatah lagi hendak menculik 275 pemimpin dan pemuka rakyat! Siapa dan dari mana [orang] yang akan menculik itu? Saya tahu Kominis di Batusangkar ini tidak cukup seratus orang. Mungkinkah 100 orang, yang terpencar di sana dan di sini, dapat dicatat di mana rumahnya dan di mana kampungnya, dan semuanya dikenal namanya, hendak menculik 275 orang pilihan, yang hidup di tengah-tengah beribu-ribu rakyat? Apakah disangkanya [kita ini] batu semua?”

“Awas”, kata beliau pula: “Jika terdengar ada saja di antara pemuka Masyumi diganggu orang, 100 jiwa [pengikut komunis itu] akan menjadi tebusannya.”

Kemudian dilabraknya kembali sifat pengecut. Pengecut tidak ada dalam tarikh perjuangan Islam. “Saudara-saudara ingat sabda Nabi”, kata beliau: “Timbul kegentaran musuh, sebulan lebih dahulu, jika kaum pengikut Muhammad akan mengambil sikap! Bukan kita yang gentar, tetapi mereka”, kata beliau.

Sejak tabligh itu, hilang sendirinyalah pengaruh surat berantai tadi. Dan Kominis tentu belum kehilangan akal, atau belum kehilangan alat lain, yang telah tersusun dalam program per-{63}juangannya untuk mengganti surat berantai yang kehilangan pengaruh itu.

                     ***

Tersebutlah nama Duski Samad! Beliau ini adalah seorang pahlawan Islam, Muballigh ulung yang telah menyediakan segenap tenaganya menegakkan agama, dan membanteras faham tiada bertuhan di Sumatera umumnya dan di Sumatera Tengah khususnya.

Dahulu dia pernah masuk kominis (1926). Karena ketika itu ideologi masih kacau balau. Kemudian dia keluar dari kominis, karena sudah nyata baginya bahwa kominis, karena sudah nyata baginya bahwa kominis adalah hendak menghancurkan agama. Kemudian dia masuk Permi, dan setelah Permi bubar, dia masuk Muhammadiyah. Di kala hebat perjuangan kemerdekaan, dia menjadi “Bapak” Hizbullah! Bahkan dibentuknya Barisan puteri “Sabil Muslimat”. Seluruh hari digunakannya untuk menggembleng keislaman rakyat dan mengokohkan Imannya. “Praktis politik lanjutkanlah oleh ahlinya”, kata beliau.

Dia membela Masyumi dengan segenap tenaga. Lidahnya berapi, tikamannya kepada musuh-musuh Islam tepat-tepat. Gunung didakinya, lurah dituruninya, berhari dan berpekan, dan membentuk jiwa perjuangan umat sudah menjadi sebagian dari hidupnya.

Banyak orang mengajaknya ke kota, banyak jabatan yang menunggu orang yang berkaliber seperti dia. “Tidak”, katanya. “Tenaga Iman dan pembangunan jiwa yang penting adalah di desa.”

“Tetapi tuan tidak mengecap rasa kemerdekaan”, kata orang yang [mencoba] mengganggu[nya]. “Kalau mengecap kemerdekaan itu hanya dengan oto bagus, rumah cantik dan melagakkan harta benda Negara untuk kesenangan sendiri, benarlah apa yang tuan katakan. Saya belum mengecapnya. Dan saya berlindung kepada Allah, janganlah saya mengecapnya. Tetapi kalau kemerdekaan itu adalah kemerdekaan jiwa mengingat Tuhan dan hidup bersama rakyat yang tulus ikhlas, yang berani mengorbankan jiwa untuk mempertahankan agama Allah, maka boleh saya katakan bahwa sayalah yang terpilih dahulu merasai kemerdekaan.”

Alhamdulillah! Islam masih mempunyai pahlawan-pahlawan seperti ini.

_______________

Catatan kaki atau tambahan keterangan  dari penyalin:

(*) Ketika Amir Sjarifuddin telah mengkhianati Republik Indonesia dengan pemberontakan Madiun, sedang ayah bundanya adalah orang Islam, dan dia lahir dalam Islam, lalu masuk Kristen, dan kemudian masuk kominis, maka oleh pemuda-pemuda di Sumatera Barat dijelaskanlah namanya yang sebenarnya.

“Sjarifuddin” artinya ialah “bangsawan agama”. Mereka kembalikan namanya yang sesuai dengan Pribadinya, yaitu “Syarrun fid din”, artinya penjahat bagi agama.{64}

(** ) Tambahan keterangan dari redaksi: Tulisan ini sudah dimuat atas izin Dr Suryadi MA dan dimuat dalam blognya: niadilova.wordpress.com

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement