Jumat 26 Jun 2020 10:17 WIB

Asa Bank Syariah di Tengah Pandemi Corona

Perbankan sebagai urat nadi ekonomi juga ikut terkena imbas negatif pandemi covid-19

Achmad K. Permana, Presiden Direktur PT Bank Muamalat Indonesia Tbk
Foto:

Salah satu dari lima peraturan yang diterbitkan oleh OJK adalah POJK No.11/POJK.03/2020 tentang stimulus perekonomian. Aturan relaksasi ini memungkinkan bank-bank melakukan restrukturisasi kredit atau pembiayaan bagi nasabah yang terkena dampak Covid-19 sehingga rasio pembiayaan bermasalah tetap bisa dikendalikan. Meskipun demikian, bank tetap kehilangan pendapatan sedangkan di sisi lain overhead cost tidak turun secara signifikan.

Bulan April hingga Juni adalah masa-masa krusial. Dalam rentang waktu ini terjadi beberapa situasi. Pertama, penurunan kualitas nasabah pembiayaan yang selama ini baik-baik saja.

Kedua, nasabah yang sebelumnya sudah bermasalah juga akan semakin memberatkan bank. Setelah periode tersebut bank juga harus mengantisipasi masa enam bulan pasca periode restrukturisasi. Di waktu inilah kita akan mengetahui apakah nasabah pembiayaan tetap mampu memenuhi kewajibannya atau tidak.

Isu berikutnya adalah mengenai likuiditas. Bank-bank syariah yang mayoritas berada di kategori BUKU I dan BUKU II harus mengantisipasi isu ini. Tekanan yang terjadi pasar akan membuat teori flight to quality bekerja. Likuiditas bank-bank kecil dan menengah tergerus. Sebaliknya, bank-bank besar akan kebanjiran likuiditas.

Kondisi ini bahkan bisa lebih cepat terjadi lantaran beredarnya hoax dan berita-berita miring serta opini menyesatkan perihal kondisi beberapa bank. Padahal pemerintah dan otoritas terkait sudah berkali-kali menjelaskan bahwa kondisi perbankan nasional baik-baik saja. Kalaupun harus terjadi saya yakin pemerintah tak akan tinggal diam untuk senantiasa menjaga kondisi perbankan nasional dalam keadaan baik.

Walaupun begitu, selama masa pandemi ini beban yang ditanggung bank syariah tidak seberat bank konvensional. Hal ini tidak terlepas dari prinsip dasar bank syariah yang menjadi pembeda dengan bank konvensional yakni bagi hasil.

Ibarat pepatah, berat sama dipikul ringan sama dijinjing. Bank syariah mengandalkan kolektivitas antara nasabah selaku pemilik dana dan bank selaku pengelola.

Selain itu, bank syariah juga punya produk pendanaan yang tidak sensitif terhadap perubahan bunga di pasar yakni wadiah. Faktor lain yang tak kalah penting adalah fakta bahwa mayoritas penduduk Indonesia adalah Muslim. Dukungan penuh dari umat muslim membuat bank syariah nasional tetap percaya diri dalam melangkah.

Sisi Positif

Di balik setiap musibah pasti selalu ada hikmah. Pandemi ini menyadarkan bank syariah bahwa teknologi digital bukan hanya monopoli perusahaan teknologi finansial (tekfin) atau bank-bank bermodal jumbo. Bank syariah juga harus segera melek. Kita harus mau berinvestasi dan berinovasi untuk menghadirkan fitur-fitur yang memungkinkan nasabah tetap dapat bertransaksi dari rumah.

Jika selama ini fitur tersebut belum ada atau dianggap belum perlu, tetapi karena pandemi ini mau tidak mau harus dihadirkan. Mengapa? Karena hanya dengan begitulah kita dapat bertahan.

Di Bank Muamalat sendiri selama masa pandemi transaksi di cabang dan mesin ATM memang jauh menurun. Namun, sebaliknya transaksi di mobile banking melejit. Saya yakin hal serupa juga terjadi di bank-bank syariah lain. Hikmah yang bisa diambil adalah bahwa hal ini justru menjadi peluang bagi bank syariah untuk 'memaksa' nasabah mengunduh dan menggunakan aplikasi mobile banking.

Namun, seperti yang saya utarakan di atas bahwa bank harus mau berinvestasi dan berinovasi untuk meningkatkan fitur sehingga nasabah mempunyai pengalaman yang berkesan saat menggunakannya. Dengan demikian, setelah pandemi berakhir nasabah yang awalnya terpaksa mengunduh justru menjadi pengguna setia.

New normal atau kenormalan baru bagi dunia perbankan adalah layanan berbasis teknologi. Ke depan mungkin saja pendekatan terhadap nasabah tidak lagi bertemu secara fisik melainkan cukup dengan panggilan video seperti yang jamak kita lakukan selama masa pandemi ini.

Dari sisi regulator semestinya situasi ini juga menjadi pertanda. Perusahaan-perusahaan tekfin bisa dengan mudahnya melakukan akuisisi nasabah atau pembukaan akun dengan memanfaatkan teknologi digital.

Tekfin bisa semudah itu melakukannya sedangkan di bank-bank masih relatif lebih rumit lantaran banyaknya regulasi. Sewajarnya bank, termasuk bank syariah, juga diberikan kesempatan yang sama sehingga tekfin dan bank dapat bermain di lapangan yang sama.

Di atas itu semua saya yakin nasabah bank syariah tetap setia, tidak terpengaruh oleh hoax sehingga tergoda untuk mengalihkan dananya. Kita harus optimistis bahwa badai ini akan segera berlalu dan kita akan kembali melaju.

Apalagi pemerintah sudah menyiapkan antisipasi untuk industri perbankan syariah tahun depan. Saya optimistis rencana tersebut dapat menjadi katalisator yang membuat industri ini berkembang jauh lebih cepat.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement